Para Ulama yang Membolehkan Mengucapkan "Selamat Natal"
February 21, 2017
Add Comment
faquha.com - Apakah
semua ulama mengharamkan mengucapkan "Selamat Natal" seperti yang
difatwakan MUI? Tidak. Ada banyak ulama yang membolehkan mengucapkan
"Selamat Natal" dengan berbagai dalil, alasan, argumen, dan
pertimbangan.
Seperti
saya jelaskan sebelumnya, salah satu sumber utama pengharaman Natal sebetulnya
berasal dari pendapat para ulama seperti Ibnu Taimiyah (w. 1328) atau Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah (w. 1350) yang kemudian menjadi rujukan sebagian ulama
kontemporer, khususnya yang mengikuti aliran atau tradisi
"Salafisme". Perlu dicatat, ada banyak ulama dan sarjana Muslim
modern yang tidak setuju dengan pendapat Ibnu Taimiyah maupun Ibnu Qayyim yang
dipandang tidak lagi akurat dan relevan.
Di
antara ulama kontemporer yang membolehkan mengucapkan "Selamat Natal"
kepada para keluarga, teman, kolega, dlsb yang beragama Kristen adalah Sheikh
Ali Jumuah (Ali Gomaa). Beliau adalah mantan Grand Mufti Mesir (2003-2013),
profesor Hukum Islam di Universitas al-Azhar, Mesir, serta anggota Dewan Fatwa
Mesir dan International Islamic Fiqh Academy. Beliau berargumen, pengharaman
mengucapkan "Selamat Natal" sebagai pelanggaran serius terhadap
substansi Islam sebagai agama rahmat yang memberikan kedamaian kepada semua
umat manusia maupun esensi Islam dan Al-Qur'an yang sangat menghormati Yesus.
Para
Grand Mufti Mesir dan Ulama / Syaikh Al-Azhar pada umumnya memang sangat
toleran, moderat, dan fleksibel seperti Syaikh Mahmoud Syaltout, Syaikh
Muhammad Sayyid Tantawi, Syaikh Amhed al-Tayep, dlsb.
Ulama
lain yang membolehkan mengucapkan "Selamat Natal" adalah Syaikh Dr.
Muhammad Tahir-ul-Qadri, pendiri Minhaj al-Qur'an International, ahli tafsir
terkemuka, dan seorang yang sangat alim dan dihormati bukan hanya di tanah
kelahirannya di Pakistan tetapi juga di negara-negara Barat. Beliau juga
seorang ulama yang sangat anti terhadap kekerasan dan terorisme berbau agama.
Setiap tahun beliau selalu mengucapkan "Selamat Natal" (dalam bahasa
Inggris, Urdu, dan Arab) kepada umat Kristen karena mengaggapnya sebagai bagian
dari respek terhadap Yesus, Kristen, dan Injil yang juga diakui dalam
Al-Qur'an, serta komitmen terhadap pesan universal kemanusiaan Islam terhadap
semua makhluk.
Suatu
saat Syaikh Tahir-ul-Qadri menulis, "The [Xmas] day highlights the teachings
and message of Jesus Christ. Belief in the Prophethood of Jesus Christ and
Bible being the Divine Book is part of Muslims faith. Allah Almighty sent him
to the world at a time when the world needed love, compassion for humanity and
peace.”
Imam
Salim Chishti, seorang ulama-sufi yang cukup berpengaruh di Barat, adalah ulama
kontemporer lain yang menghalalkan mengucapkan "Selamat Natal" bagi
umat Islam kepada umat Kristen atas dasar spirit persaudaraan iman. Bahkan
Shaikh Yusuf Qardawi, seorang ulama kharismatik berpengaruh dan penulis
produktif yang kini menetap di Qatar, juga membolehkan mengucapkan
"Selamat Natal" dengan alasan bahwa pengucapan itu sebagai bentuk
dari kebaikan, cinta, dan kasih sayang yang menjadi ruh agama Islam terhadap
umat non-Muslim, apalagi umat Kristen yang merupakan sesama rumpun agama Semit.
Demikian
"kuliah virtual" singkat kali ini semoga ada manfaatnya. Akhirul
kalam, yang saya herankan dan renungkan dan membuatku "gundah gulana"
sampai sekarang kenapa fatwa para ulama termasuk MUI itu hanya mengharamkan
pengucapan "Selamat Natal" saja. Kenapa mereka tidak mengharamkan
"Libur Natal", "Kue Natal" atau "Diskon Natal",
misalnya? Kenapa eh kenapa. Jika mengucapkan Natal saja dianggap "mengakui"
kepercayaan umat Kristen sehingga diharamkan apalagi ikut menikmati libur, kue
dan diskon Natal he he.
Fatwa
Natal
Setiap
menjelang Natal kok mesti ribut dan sibuk soal "fatwa Natal" sampai
bosan aku mengomentari. Begini, terhadap fatwa sejumlah ulama dan institusi
Islam seperti MUI yang mengharamkan mengucapkan selamat Natal itu harus
disikapi dengan santai dan biasa-biasa saja. Tidak perlu overdosis dalam
bersikap. Tidak perlu reaksioner, dan tidak perlu "lebay-njeblay".
Kelompok
yang reaksioner biasanya mengaggap ulama / lembaga ulama yang mengfatwakan
haram bagi umat Islam untuk mengucapkan "Selamat Natal" kepada umat
Kristen sebagai kaum intoleran, anti-pluralisme, tidak berwawasan kebangsaan,
dlsb. Sementara kelompok "lebay-njeblay" menggalang massa untuk mengawal
fatwa sambil sweeping atribut-atribut Natal dimana-mana. Atribut-antribut Natal
itu seperti ketupat atau opor ayam saat Idul Fitri gak ada urusannya dengan
Natal apalagi "iman Kristen", jadi buang-buang energi saja antum ini
he he.
Begini,
tentunya para ulama yang mengfatwa haram bagi kaum Muslim untuk mengucapkan
"Selamat Natal" kepada umat Kristen itu juga didukung oleh dalil yang
valid, tidak sembarangan. Jadi harus dihormati pendapat mereka. Biasanya dasar
atau sebab pengharaman itu lantaran dengan mengucapkan Natal berarti umat Islam
secara diam-diam telah mengakui kebenaran akidah Kristen.
Jadi,
mengucapkan Natal itu semacam "tacit endorsement" atau "dukungan
terselubung / diam-diam" atas keimanan dan sistem teologi umat Kristen,
dan karena itu haram bagi kaum Muslim untuk mengucapkannya. Inilah yang
diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah, ulama abad ke-14 yang sangat berpengaruh di
kalangan kelompok Salafi, dalam kitabnya Iqtidlaus Shirathil Mustaqim, yang
banyak dikutip oleh para ulama hingga kini sebagai dasar pendukung pengaharaman
tadi.
Apapun
dasar atau dalilnya, yang namanya "fatwa" itu tetap saja sebuah
pendapat hukum yang tidak mengikat. Setiap ulama atau lembaga keulamaan bisa
mengeluarkan fatwa sesuai dengan dalil, dasar, dan argumen masing-masing.
Karena hanya sebuah pendapat, untuk apa dikawal? Kalau setiap fatwa MUI harus
dikawal, apa tidak pening kepala dan gempor tuh badan karena ada ribuan fatwa
yang dikeluarkan MUI. Coba, silakan dikawal fatwa MUI yang mengharamkan rokok?
Ya gak mungkin mau mengawal wong mereka pada merokok semua he he.
Nah,
sekarang bagaimana kalau mengucapkan "Selamat Natal" sebagai
"simbol pertemanan" saja, tidak ada urusannya dengan kekhawatiran
menjadi "kafir" atau "musyrik"? Ya, silakan dimaknai
sendiri, boleh atau tidak. Wong cuma mengucapkan "Selamat Natal"
doang kok serius amat sampai urusan teologi.
Di
kawasan Arab, ungkapan selamat Natal biasanya diterjemahkan sebagai "Id
al-milad milad sa'id". Di Iran atau Afganistan, dengan ungkapan
"Christmas Mubarak". Para tokoh dan kaum Muslim, khususnya di
Palestina, Lebanon, Irak, dan kawasan yang banyak populasi umat Kristennya
biasanya di Hari Natal begini mengucapkan: "led Mîlâd Sa'îdah, wa Sanah
Jadîdah. Kullu 'Âm wa Antum bi-Khayr. Âmîn (Selamat Natal dan tahun baru.
Semoga sepanjang tahun Anda selalu dikaruniai atau berada dalam kebaikan.
Amin).
Kalau
menurutku sih gampang saja, kalau hanya dengan mengucapkan "Selamat
Natal" kepada teman-teman Kristen kok dianggap telah keluar dari Islam, ya
nanti tinggal masuk lagi. Gitu aja kok repot...
Jabal
Dhahran, Arabia, Prof Sumanto
0 Response to "Para Ulama yang Membolehkan Mengucapkan "Selamat Natal""
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR