Fatwa Natal
January 26, 2017
Add Comment
Fatwa Natal
Setiap menjelang Natal kok mesti ribut dan sibuk soal
"fatwa Natal" sampai bosan aku mengomentari. Begini, terhadap fatwa
sejumlah ulama dan institusi Islam seperti MUI yang mengharamkan mengucapkan
selamat Natal itu harus disikapi dengan santai dan biasa-biasa saja. Tidak
perlu overdosis dalam bersikap. Tidak perlu reaksioner, dan tidak perlu
"lebay-njeblay".
Kelompok yang reaksioner biasanya mengaggap ulama / lembaga
ulama yang mengfatwakan haram bagi umat Islam untuk mengucapkan "Selamat
Natal" kepada umat Kristen sebagai kaum intoleran, anti-pluralisme, tidak
berwawasan kebangsaan, dlsb.
Sementara kelompok "lebay-njeblay"
menggalang massa untuk mengawal fatwa sambil sweeping atribut-atribut Natal
dimana-mana. Atribut-antribut Natal itu seperti ketupat atau opor ayam saat
Idul Fitri gak ada urusannya dengan Natal apalagi "iman Kristen",
jadi buang-buang energi saja antum ini he he.
Begini, tentunya para ulama yang mengfatwa haram bagi kaum
Muslim untuk mengucapkan "Selamat Natal" kepada umat Kristen itu juga
didukung oleh dalil yang valid, tidak sembarangan. Jadi harus dihormati
pendapat mereka. Biasanya dasar atau sebab pengharaman itu lantaran dengan
mengucapkan Natal berarti umat Islam secara diam-diam telah mengakui kebenaran
akidah Kristen.
Jadi, mengucapkan Natal itu semacam "tacit
endorsement" atau "dukungan terselubung / diam-diam" atas
keimanan dan sistem teologi umat Kristen, dan karena itu haram bagi kaum Muslim
untuk mengucapkannya. Inilah yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah, ulama abad
ke-14 yang sangat berpengaruh di kalangan kelompok Salafi, dalam kitabnya
Iqtidlaus Shirathil Mustaqim, yang banyak dikutip oleh para ulama hingga kini
sebagai dasar pendukung pengaharaman tadi.
Apapun dasar atau dalilnya, yang namanya "fatwa"
itu tetap saja sebuah pendapat hukum yang tidak mengikat. Setiap ulama atau
lembaga keulamaan bisa mengeluarkan fatwa sesuai dengan dalil, dasar, dan
argumen masing-masing. Karena hanya sebuah pendapat, untuk apa dikawal? Kalau
setiap fatwa MUI harus dikawal, apa tidak pening kepala dan gempor tuh badan
karena ada ribuan fatwa yang dikeluarkan MUI. Coba, silakan dikawal fatwa MUI
yang mengharamkan rokok? Ya gak mungkin mau mengawal wong mereka pada merokok
semua he he.
Nah, sekarang bagaimana kalau mengucapkan "Selamat
Natal" sebagai "simbol pertemanan" saja, tidak ada urusannya
dengan kekhawatiran menjadi "kafir" atau "musyrik"? Ya,
silakan dimaknai sendiri, boleh atau tidak. Wong cuma mengucapkan "Selamat
Natal" doang kok serius amat sampai urusan teologi.
Di kawasan Arab, ungkapan selamat Natal biasanya
diterjemahkan sebagai "Id al-milad milad sa'id". Di Iran atau
Afganistan, dengan ungkapan "Christmas Mubarak". Para tokoh dan kaum
Muslim, khususnya di Palestina, Lebanon, Irak, dan kawasan yang banyak populasi
umat Kristennya biasanya di Hari Natal begini mengucapkan: "led Mîlâd
Sa'îdah, wa Sanah Jadîdah. Kullu 'Âm wa Antum bi-Khayr. Âmîn (Selamat Natal dan
tahun baru. Semoga sepanjang tahun Anda selalu dikaruniai atau berada dalam
kebaikan. Amin).
Kalau menurutku sih gampang saja, kalau hanya dengan
mengucapkan "Selamat Natal" kepada teman-teman Kristen kok dianggap
telah keluar dari Islam, ya nanti tinggal masuk lagi. Gitu aja kok repot...
Jabal Dhahran, Arabia
Prof Sumanto
0 Response to "Fatwa Natal"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR