Belajar dari Kesungguhan Kiai Belajar
August 20, 2016
Add Comment
Prof Ahmad Chatib (Allah yarham) pernah bercerita beliau baru saja membeli sebuah buku dalam perjalanan di luar negeri. Kemudian beliau berpapasan di pintu dengan Gus Dur yang segera melihat buku bagus di tangan Prof Ahmad Chatib. Gus Dur bergegas ke dalam toko buku hendak membeli buku yang sama, tapi ternyata itu stok buku terakhir yang ada. Gus Dur kemudian cepat-cepat mengejar Prof Ahmad Chatib dan meminta beliau untuk meminjamkan buku tersebut.
Prof Ahmad Chatib, yang menceritakan kisah ini di kelas mata
kuliah Filsafat Hukum Islam tahun 1994 di IAIN Jakarta, berkata: "terpaksa
saya sodorkan buku itu kepada Gus Dur yang ingin sekali membaca buku
tersebut". Selang beberapa lama setiap bertemu di Jakarta, Prof Ahmad
Chatib selalu menanyakan nasib bukunya yang dipinjam Gus Dur itu. Akhirnya Gus
Dur mengembalikan buku itu. Prof Ahmad Chatib terkejut setelah membukanya,
"wah buku saya sudah penuh dengan catatan Gus Dur di sana-sini".
Rupanya begitulah kesungguhan Gus Dur dalam menelaah sebuah kitab: sampai buku
pinjaman pun dicoret-coreti.
Kisah kedua yang hendak saya ceritakan ini mengenai Kiai
Abbas dari Buntet Pesantren. Saat Abah saya hendak mengaji kepada Kiai Abbas
dengan membawa kitab Jam'ul Jawami', Kiai Abbas mengaku belum terlalu menguasai
kitab itu, dan meminta Abah saya datang kembali membawa kitab tersebut beberapa
hari ke depan. Rupanya Kiai Abbas menyimak dulu isi kitab ushul al-fiqh karya
Imam al-Subki tersebut, dan kemudian setelah itu Abah saya dipanggil kembali
dan Kiai Abbas dengan lancar mengajarkan isi kitab tersebut.
Dua kisah di atas saya ceritakan untuk menunjukkan
kesungguhan para Kiai itu menuntut ilmu. Para Kiai itu membaca, menyimak dan
memberi catatan isi kitab. Mereka menjadi alim bukan terjadi begitu saja.
Sengaja diambil kisah dua kiai, yaitu KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Kiai
Abbas. Kedua tokoh hebat pada masanya masing-masing ini lebih sering dibahas
karomah beliau berdua ketimbang dikisahkan kesungguhan beliau berdua belajar
menuntut ilmu.
Kiai Abbas, menurut penuturan Abah saya yang menjadi santri
khususnya, sangat menguasai ushul al-fiqh dan ilmu fiqh perbandingan mazhab.
Pengakuan Abah: "kuliah saya di al-Azhar Cairo terasa mudah dengan bekal
ilmu yang sudah diajarkan Kiai Abbas". Yang terkenal kemana-mana itu
adalah peristiwa heroik 10 November dimana Kiai Abbas merontokkan pesawat
sekutu dengan lemparan biji tasbih dan bakiaknya. Tentu saja Abah saya juga
menceritakan berbagai karomah gurunya ini, namun setiap saya tanya apa
wiridnya, Abah cuma berpesan: "belajar yang rajin saja Nak, belum waktunya
membaca wirid macam-macam, nanti kalau kamu sudah jadi Kiai, kamu akan mengerti
sendiri hal-hal gaib dan ajaib yang kamu tanyakan itu. Sekarang baca buku lagi!"
Dan kini kalau saya ceritakan kepada para santri bahwa saya
meraih dua gelar PhD di dua bidang berbeda, di dua negara berbeda, dan saya
selesaikan pada waktu yang bersamaan, spontan yang mereka tanya: "wiridnya
apa sehingga bisa seperti itu?" Jarang yang tertarik bertanya bagaimana
kesungguhan saya belajar sehingga bisa menyelesaikan dua program PhD tersebut.
Lebih menarik bertanya doa dan wiridnya. Mungkin disangkanya lebih mudah
wiridan ketimbang membaca buku.
Pesantren itu sejatinya lembaga pendidikan, bukan semata
tempat orang belajar mistik apalagi klenik. Ini yang harus ditegaskan karena
banyak kesalahpahaman. Selain kesannya ndeso, pesantren itu dikesankan tempat
untuk belajar ilmu gaib. Orang tua menjadi takut mengirim anaknya ke pondok.
Pulang dari pondok hobinya nanti menangkap jin. Sementara para santri ada
sebagian yang bukannya belajar dengan tekun tapi malah sibuk mau jadi
waliyullah dengan berharap mendapat ilmu laduni. Bahwa Gus Dur dan Kiai Abbas
memiliki karomah, tentu kita yakini itu. Tetapi karomah itu hanya bonus saja,
hasil dari istiqamah para kiai yang luar biasa. Istiqamah menuntut ilmu dengan
terus rajin belajar, membaca, berdiskusi, dan menulis --ini yang harus kita
warisi dari para masyayikh dan guru-guru kita.
Ceritakanlah kepada khalayak bagaimana Mbah Sahal Mahfud
membaca dengan tekun dan karenanya menulis berbagai kitab yang luar biasa. Di
ruang tamu beliau berjejer kitab fiqh dari mazhab selain mazhab Syafi'i. Kitab
dari mazhab Syafi'i malah ditaruh di bagian belakang. "Kenapa?" tanya
Prof Martin van Bruinessen. Jawab Mbah Sahal kalem, "karena kitab dari
mazhab Syafi'i sudah saya hafal semua."
Kisahkanlah di medsos bagaimana Kiai Ihsan Jampes mengarang
kitab yang kemudian dijadikan rujukan di manca negara. Atau tolong mintakan kepada
KH Ahmad Mustofa Bisri untuk berkenan bercerita proses kreatif beliau sehingga
tercipta berbagai tulisan dan barisan puisi yang menyentuh jiwa dan mengundang
kita untuk merenunginya.
Jikalau ini yang kita ceritakan, tidak semata soal karomah
para Kiai, baru kemudian umat akan memahami bahwa pesantren itu juga gudangnya
dunia ilmu pengetahuan. Dan mereka akan lebih apresiatif saat mengetahui bahwa
zikir dan pikir telah menjadi satu tarikan nafas keseharian para Kiai.
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand dan
Dosen Senior Monash Law School
0 Response to "Belajar dari Kesungguhan Kiai Belajar"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR