Hukum Facebook dalam Islam; Urgensi Qiyas/Analogi
June 8, 2016
Add Comment
Hukum Facebook dalam Islam
Faquha.site - Tahun
1932 Pengadilan Inggris harus memutuskan kasus unik. Nyonya Donoghue meminum
bir jahe (ginger beer) yang dibeli temannya. Ternyata di dalam botol dia
menemukan snail (bekicot) dan dia mengklaim mengalami sakit setelah meminum
botol berisi bekicot itu.
Donoghue memutuskan menggugat Stevenson perusahaan pembuat
bir jahe. Saat itu tidak ada aturan hukum yang bisa menjerat Stevenson. Tidak
ada kontrak atau perjanjian antara penjual dan pembeli. Apa dasar hukumnya
menghukum Stevenson? Apakah gugatan Donoghue harus ditolak?
Dalam tradisi common law pada pengadilan Inggris, mereka
melihat ke kasus-kasus sebelumnya untuk memutuskan hukum. Ini yang disebut
dengan teori preseden. Memutuskan kasus baru dengan mencari cantolan pada
keputusan sebelumnya.
Preseden dalam tradisi common law ini mirip dengan Analogi
atau Qiyas yang digunakan mayoritas ulama dalam tradisi hukum Islam. Ternyata
sistem hukum barat, khususnya common law, punya kemiripan dengan syari'ah.
Kalau kita luaskan bacaan kita, kita akan melihat banyak persamaan di antara
keduanya, ketimbang sibuk mencari perbedaan dan kemudian menistakan yang satu
dengan lainnya.
Para ulama juga harus mencari cantolan hukum ke belakang,
yaitu Qur'an dan Hadis, untuk memecahkan kasus baru. Di sinilah para ulama
secara brilian mengenalkan konsep Qiyas sehingga hukum Islam selalu bisa
menjawab perkembangan zaman. Apa yang dibahas dalam Qur'an dan Hadis itu
terbatas. Wahyu sudah terhenti. Nabi Muhammad sudah wafat. Tapi kasus-kasus
baru terus bermunculan. Maka Qiyas menjadi jawabannya.
Qiyas ini sebenarnya menggunakan logika. Ini analogi
berdasarkan prinsip logika deduktif. Semua minuman yang memabukkan itu haram,
whiskey itu memabukkan, maka whiskey hukumnya haram (meski sampai gondrongpun
anda mencari dalam Qur'an dan Hadis tidak akan ditemukan kata whiskey).
Tentu
saja para ulama menjustifikasi penggunaan Qiyas ini dengan sejumlah ayat dan
hadis. Tapi susah menolak fakta bahwa bangunan qiyas ini dipengaruhi logika
artistoteles. Artinya, mereka yang teriak-teriak tidak boleh pakai akal atau
logika dalam memahami kitab suci dapat dipastikan mereka tidak sadar bahwa
qiyas itu jelas berdasarkan logika deduktif --En toch diterima juga oleh empat
Imam Mazhab terkemuka, meski mereka berbeda-beda dalam intensitas melakukan
Qiyas ini.
Namun bagaimana caranya memutus perkara kalau cantolannya
tidak ada? Qiyas mengasumsikan bahwa ada hukum asal sebagai pijakan analogi.
Tapi kalau hukum asalnya tidak ada, bagaimana? Para ulama kemudian menggunakan
istidlal melalui kaidah kebahasaan: ibaratun nash, isyaratun nash, dilalatun
nash. Para ulama menganalisa sejumlah indikasi (wajah istidlal) dalam nash
untuk mengeluarkan berbagai kaidah ushuliyah dan fiqhiyah guna menjawab
kasus-kasus baru yang tidak ada hukum asalnya.
Inilah proses pengambilan hukum berdasarkan prinsip
induktif. Misalnya dalam kasus asuransi, para ulama menjawabnya dengan
menganalisa kata maysir, riba, gharar yang disebutkan dalam Qur'an dan Hadis
untuk kemudian mengeluarkan prinsip hukum: tidak boleh ada
spekulasi/ketidakpastian, bunga ataupun penipuan.
Bagaimana bila aspek kebahasaan dan analogi tidak juga
meng-cover kasus baru yang ditanyakan? Contohnya penggunaan facebook. Tidak
bisa dilakukan qiyas dan juga al-istidlal bil qawa'id al-lughawiyah, apa yang
harus dilakukan para ulama? Tidak bisa mengatakan cukup dengan Qur'an dan Hadis
karena dicari sampai botak pun gak ada kata 'facebook' الفيسبوك dalam Qur'an dan Hadis, dan belum ada kasus yang mirip
di jaman dahulu untuk dilakukan qiyas.
Di sinilah para ulama menjawab dengan melakukan ijtihad
istislahi, yang berdasarkan konsep kemaslahatan. Ditimbang-timbang mana yang
lebih besar maslahat atau mudaratnya. Prinsip kemaslahatan ini bertumpu pada
maqasid al-syari'ah dengan memperhatikan aspek dharuriyat, hajjiyat dan
tahsiniyat.
Dalam titik ini, para ulama tetap berusaha merujuk ke nash
Qur'an dan Hadis, bukan dari aspek kebahasaan atau hukum asal, tapi tujuan
hukum Islam itu sendiri.
Ini juga yang di alami oleh Pengadilan Inggris dalam kasus
Donoghue di atas. Para hakim Inggris melakukan ijtihad melihat kemaslahatan
kasus ini. Kalau tidak dihukum, maka Stevenson dan perusahaan lainnya tidak
akan menunjukkan kepedulian (duty care) terhadap produk mereka. Hak-hak
konsumen terabaikan hanya karena tidak ada kontrak atau perjanjian jual-beli.
Lord Atkin, hakim Inggris dalam pengadilan Inggris tersebut, memutuskan
Stevenson bersalah dengan mengajukan argumen "neighbour principle".
Gemparlah dunia hukum saat itu menyimak terobosan hukum (ijtihad) yang
dilakukan Lord Atkin. Sejak itu berkembanglah kajian negligence dalam hukum
Inggris, dan kasus-kasus berikutnya mengikuti argumen (illat hukum) apa yang
diputuskan Lord Atkin.
Singkatnya begini, untuk berijtihad, itu saya akan melihat
secara kebahasaan apa makna telur ayam, kemudian saya akan membandingkan antara
telur ayam yang lama dengan telur ayam yang baru, kemudian saya akan
mempertimbangkan mana yang lebih maslahat antara bikin telor ceplok atau telor
dadar. Hasil ijtihad saya akhirnya memilih telor ceplok. Kalau ijtihad ceplok
telor saya ini benar, saya akan mendapat dua pahala, dan kalaupun salah, saya
akan mendapat satu pahala
0 Response to "Hukum Facebook dalam Islam; Urgensi Qiyas/Analogi"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR