Mengenal Dakwah Islam Nusantara
June 30, 2015
Add Comment
Ilustrasi http://www.muslimedianews.com |
Faquha.com - Islam masuk ke Nusantara tak menghancurkan seluruh
kebudayaan masyarakat. Wali Songo mendakwahkan Islam bahkan dengan menggunakan
strategi kebudayaan
Dalam beberapa kasus, Islam justru mengakomodasi budaya yang
sedang berjalan di masyarakat Nusantara. Tradisi sesajen yang sudah berlangsung
lama dibiarkan berjalan untuk selanjutnya diberi makna baru.
Sesajen dimaknai sebagai bentuk kepedulian kepada sesama
bukan sebagai pemberian terhadap dewa. Begitu juga tradisi nadran dengan
mengalirkan satu kerbau ke pantai Jawa tak dihancurkan, melainkan diubahnya
hanya dengan membuang kepala kerbau atau kepala sapi ke laut.
Nadran tak lagi dimaknai sebagai persembahan pada dewa,
melainkan sebagai wujud syukur kepada Allah. Hasil bumi yang terhidang dalam
upacara tak ikut dilarungkan ke laut, tapi dibagi ke penduduk.
Dalam menyampaikan ajaran Islam Wali Songo menggunakan
cara-cara persuasif bukan konfrontatif. Anasir-anasir Arab yang tak menjadi
bagian dari ajaran Islam tak dipaksakan untuk diterapkan.
Sunan Kudus membangun mesjid dengan menara menyerupai candi
atau pura. Memodifikasi konsep “Meru” Hindu-Budha, Sunan Kalijogo membangun
ranggon atau atap mesjid dengan tiga susun yang menurut KH Abdurrahman Wahid
untuk melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim, yaitu iman,
islam, dan ihsan.
Ini kearifan dan cara ulama dalam memanifeskan Islam
sehingga umat Islam tetap bisa ber-Islam tanpa tercerabut dari akar tradisi
mereka sendiri.
Para Wali tak ragu meminjam perangkat-perangkat budaya
sebagai perangkat dakwah. Sunan Kalijogo menggunakan Wayang Kulit sebagai media
dakwah. Ia memasukkan kalimat syahadat dalam dunia pewayangan. Doa-doa,
mantera-mantera, jampi-jampi yang biasanya berbahasa Jawa ditutupnya dengan
bacaan dua kalimat syahadat. Dengan cara ini, kalimah syahadat menjelma di
hampir semua mantera-mantera yang populer di masyarakat.
Itu cara dakwah yang ditempuh para ulama Nusantara yang
ternyata efektif dalam mengubah masyarakat. Dalam berdakwah, para ulama
Nusantara sempurna mengamalkan firman Allah, ud`u ila sabili rabbika bil
hikmah wal maw`idhatil hasanah wa jadilhum billati hiya ahsan. Jika dakwah
dengan jalan hikmah dan mau`idhah hasanah tak menghasilkan perubahan,
maka jalan dialog yang dilakukan, bukan pentungan dan pedang yang dihunjamkan.
Dengan cara dan strategi dakwah yang demikian, Islam dianut
banyak orang. Islam memang masuk ke Indonesia sejak abad ke 13, tapi
kenyataannya Islam betul-betul dipilih warga Nusantara secara luas baru pada
periode Wali Songo. Ini berkah dari dakwah penuh perdamaian para
ulama. Jawa bisa diislamkan tanpa pertumpahan darah. Begitu juga dengan dakwah
damai yang dilakukan para ulama Nusantara lain di Sumatera bagian utara,
Kalimantan, Maluku, dan lain-lain bahkan hingga ke Melaka.
Cara-cara persuasif para ulama Nusantara dalam menyiarkan
Islam tersebut, kini menjadi “trade mark” Islam Nusantara, yaitu Islam
yang sanggup berdialektika dengan kebudayaan masyarakat.
Ajaran-ajaran Islam bisa diserap masyarakat tanpa
menumbangkan basis-basis tradisi masyarakat. Hubungan Islam dan kebudayaan
Nusantara adalah ‘alaqah jadaliyah (hubungan dialektik)
bukan ‘alaqah
ikhdha’ (hubungan penundukan-subordinatif) oleh satu pihak pada pihak
lain. Islam Nusantara lebih mendahulukan cara-cara persuasi daripada
konfrontasi, lebih mengutamakan jalan damai ketimbang jalan perang walau dalam
beberapa kasus perang tak terhindarkan terutama sejak kaum penjajah merampas
kedaulatan Nusantara.
Di tengah
kecenderungan sebagian umat Islam untuk mendakwahkan Islam dengan jalan
kekerasan, maka “jalan damai Islam” yang fondasinya telah diletakkan para ulama
Nusantara bisa dijadikan solusi untuk menyelesaikan konflik dan ketegangan.
Harapannya, melalui jalan damai ini kemajuan di berbagai
aspek kehidupan bisa dicapai. Bukankah dalam suasana damai, umat Islam bisa
bekerja lebih produktif dengan mengembangkan ilmu pengetahuan, memperbaiki
pereokonomian umat, dan lain-lain.
Sebaliknya, dalam kekerasan yang tak
berkesudahan, energi umat Islam akan terkuras untuk pekerjaan yang tak banyak
gunanya bagi kepentingan izzul Islam wal muslimin, izzu Nusantara wa
nusantariyyin, izzu Indonesia wa indunisiyyin.
disarikan dari tulisan Dr. Muqsith Gozali, MA. (Dosen Fakultas Ushluddin UIN Jakarta) sumber: https://www.facebook.com/
0 Response to "Mengenal Dakwah Islam Nusantara"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR