-->

Cara Ulama memahami Konsep al-Tarku (sesuatu yang tidak dilakukan Nabi)

Ciputat, Faquha.site - Saudara-saudara kita yang lantang menyuarakan perayaan maulid Nabi (ataupun suatu amaliah yang tidak sejalan dengannya) sebagai BID’AH TERCELA senantiasa menjadikan alasan bahwa Rasulullah tidak mencontohkannya. Di sini akan dibahas sekilas tentang bagaimana sebenarnya konsep at-Tarku (sesuatu yang tidak Rasulullah lakukan) dalam tatanan hukum islam.
Al- Syeikh Ali Jum’ah (Mufti Agung Mesir) mengutip sya’ir yang ditulis oleh al-Shâdiq al-Ghumari dalam Husn al-Tafâhum wa al-Dark li Mas’alat al-Tark:
            Al-Tark bukanlah hujjah dalam syari’at kita
            Ia tidak melahirkan larangan atau perintah
Barang siapa yang menganggap apa yang ditinggalkan Nabi
Sebagai larangan
Dan menganggapnya sebagai hukum benar nan tepat
Dia telah tersesat dari jala-jalan dalil agama[1]
Para ulama, baik di Barat maupun di Timur, salaf maupun khalaf, mereka sepakat bahwa sesuatu yang tidak diamalkan Nabi SAW bukan cara yang digunakan untuk menetapkan dalil hukum keharamannya. 
Cara yang mereka (para ulama) gunakan dalam rangka menetapkan hukum syari’at, baik hukum wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram adalah: 1. Adanya nash al-Qur’an, 2. Adanya nash yang shahîh dan sharîh dari Sunnah, 3. Ijma’ ulama atas sebuah hukum, 4. Qiyas. Sedangkan dalam beberapa hal berikut, para ulama berbeda pendapat: 5. Qaul al-Shahabah, 6. Saddu al-Dzari’ah, 7. Amal ahl al-Madinah, 8. Hadis Mursal, 9. Istihsan, 10. Hadis Dha’if, dan cara-cara lain yang dianggap mu’tabar oleh para ulama. Sedangkan konsep al-Tarku tidak termasuk pada cara yang digunakan ulama.
Konsep al-Tarku tersebut tidak melahirkan hukum syari’at apapun. Ini telah menjadi kesepakatan di kalangan ulama. Terdapat banyak bukti bahwa para sahabat tidak memahami al-Tarku sebagai perintah yang menunjuk pada perbuatan haram, bahkan hukum makruh juga tidak. Ini yang dipahami oleh seluruh ulama sepanjang masa. 
Imam Ibn Hajm menolak pandangan madzhab Maliki dan Hanafi yang menetapkan hukum makruh mengerjakan shalat dua raka’at sebelum maghrib hanya karena beralasan bahwa Abu Bakar, Umar, dan Utsman tidak pernah melakukan shalat tersebut. Ibn Hajm berkata, “Ini tidak apa-apa, awalnya adalah hadis yang munqathi’, karena Ibrahim tidak bertemu dengan seorang pun dari sejumlah rawi yang kami sebutkan, Ibrahim belum dilahirkan kecuali setelah dua tahun pasca kematian Utsman, kemudian seandainya hadis tersebut adalah shahîh maka tetap saja hadis ini tidak mengandung sebuah hujjah, karena dalam hadis itu mereka (Abu Bakar, Umar, Utsman) tidak melarang mengerjakan shalat sebelum maghrib, mereka juga tidak menganggapnya makruh. Kami tidak berbeda dengan mereka bahwa meninggalkan segala hal yang sunnah adalah boleh hukumnya.”[2] Ibnu Hajm tidak tinggal diam dalam membicarakan tentang para sahabat yang tidak mengerjakan (al-Tarku) shalat dua rakaat (sebelum maghrib).
Ibn Hajm menyebutkan, para sahabat yang meninggalkan shalat tersebut tidak mengapa, sepanjang mereka tidak menjelaskan bahwa shalat tersebut makruh dilakukan. Dan para sahabat tidak pernah mengatakan yang demikian itu.
Metode di atas adalah cara Ibn Hajm dalam melihat persoalan ibadah yang ditinggalkan oleh para sahabat. Sikap Ibn Hajm yang demikian ini juga ditunjukan ketika berbicara soal ibadah yang tidak dikerjakan oleh nabi Muhammad SAW., yang pada dasarnya disyari’atkan. Ibn Hajm berpendapat soal nabi Muhammad SAW yang tidak pernah melakukan puasa sebulan penuh, kecuali Ramadhan, fakta ini tidak lantas menegaskan bahwa berpuasa sebulan penuh selain bulan Ramadhan adalah makruh.[3] Maka dapat dipahami bahwa kenyataan nabi Muhammad tidak pernah berpuasa sebulan penuh selain bulan Ramadhan, tidak lantas menyebabkan puasa sebulan penuh selain bulan Ramadhan adalah makruh atau haram, sekalipun Nabi tidak pernah mengerjakannya.
Adalah fakta bahwa Nabi SAW meninggalkan berkhutbah di atas mimbar, nabi Muhammad SAW. mamilih berkhutbah di dekat sebatang kayu, dan para sahabat tidak mengartikannya bahwa berkhutbah di atas mimbar adalan bid’ah dan haram, sehingga para sahabat membuat mimbar untuknya.[4] Adalah mustahil para sahabat melakukan sesuatu yang diharamkan nabi Muhammad SAW. karena itulah dapat dipahami bahwa para sahabat tidak menganggap sesuatu yang tidak dikerjakannya adalah perbuatan bid’ah.
Ketika mengerjakan shalat, setelah mengangkat kepala dari ruku’, nabi Muhammad SAW. tidak membaca, “Rabbana wa laka al-hamd hamdan katsîra…” para sahabat tidak menganggap do’a yang ditinggalkan Nabi tersebut sebagai sebuah larangan dan pantangan ketika shalat. Jika tidak, maka bagaimana mungkin sahabat melakukan sesuatu yang diyakini haram? Dan Nabi sendiri tidak mencela pemahaman yang demikin ini, semisal Nabi bersabda, “Aku menganggapnya baik…” Nabi juga tidak melarang merangkai do’a-do’a sendiri ketika mengerjakan shalat. Padahal kita tahu, menunda penjelasan ketika dibutuhkan adalah tidak boleh dilakukan.
Sedangkan Hadis yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn al-Rafi al-Zarki, “Pada suatu hari kami shalat di belakang Nabi, dan setelah beliau mengangkat kepalanya dari ruku’, ia membaca,”Sami’a Allah liman hamidah…” kemudian terdapat seseorang di belakang beliau meneruskan, “…hamdan katsîran thayyiban mubâraka…” setelah Nabi Muhammad SAW. selesai shalat, lalu belia bertanya, ”Siapa yang membacanya barusan itu?” Lelaki itu berkata, “Saya…” Nabi bersabda, ”Aku melihat 30 lebih malaikat tergesa-gesa (berebut) siapa yang duluan menulis (pahala bacaan itu).”[5]
Sahabat Bilal RA tidak menganggap perbuatan Nabi SAW. yang tidak pernah mengerjakan shalat sunnah setelah wudlu sebagai petunjuk tidak bolehnya melakukan shalat tersebut. Bahkan Bilal RA melakukan shalat sunnah itu. Padahal nabi Muhammad SAW. tidak pernah mengajarkan hal itu. Akan tetapi setelah nabi Muhammad bertanya, “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku amal perbuatan apa dalam Islam yang paling kamu suka? Sebab aku mendengar gerak langkah sandalmu di surga?” Bilal RA menjawab, “Tidak ada amal perbuatan yang lebih aku suka kecuali ketika aku sudah bersuci baik di malam hari ataupun siang hari, aku langsung mengerjakan shalat yang diwajibkan bagiku.”[6] 
Kita tahu bahwa shalat setelah wudlu menjadi sunnah setelah nabi Muhammad SAW. menyetujuinya. Akan tetapi kita akan mengambil sebuah dalil hukum sebagaimana yang dipahami para sahabat tentang bolehnya membuat do’a-do’a sendiri dan mengerjakan shalat-shalat yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi SAW. Kita akan berbuat seperti itu juga, mengingat nabi Muhammad SAW. tidak mengingkari cara dan perbuatan demikian ini, dan para sahabat juga tidak melarang hal semacam ini di kemudian hari.
Dari paparan di atas, kita tahu bahwa apa yang tidak dikerjakan oleh Nabi dan para sahabatnya, baik oleh tiga generasi terbaik setelah itu, sama sekali tidak memberi keputusan hukum apapun, tidak haram, tidak makruh, dan tidak pula keduanya. Inilah apa yang dipahami oleh nabi Muhammad SAW. semasa hidup beliau. Dan Nabi juga tidak mengingkari hasil pemahaman para sahabatnya. Serta beginilah para ulama berikutnya memahami hukum agama.
Dalam tulisan ini penulis hanya menunjukan sedikit dari karya para ulama terbaik umat perihal perayaan Maulid Nabi, dan tidak menanggapi subhat-subhat serta tuduhan miring para pengingkar Maulid Nabi. Cukuplah apa yang dikatakan al- Syeikh Ali Jum’ah, “Tidaklah perlu diperhatikan pandangan orang yang nyeleneh dan melawan arus kesepakatan amali umat dan pendapat para ulama”.[7] Sebagai penutup tulisan ini saya akan mengutip sya’ir Burdahnya al-Bushiri:
            Dialah yang mulia jiwa dan raganya
            Tuhan pencipta rasa menjadikannya kekasih
            Terhindar dari penyerupa dalam keindahannya
            Tidak terbagi esensi keindahan dalam dirinya
            Biarkan apa yang diucapkan orang Nasrani pada nabi mereka
            Sematkan padanya (Muhammad) kemuliaan apapun yang engkau sukai
            Sematkan pula padanya keagungan apapun yang engkau senangi
            Karena keutamaan Rasulullah tidaklah terbatasi

Tulisan disalin dari Makalah Yayan Bunyamin S.Th.I, yang dipersentasikan pada Kajian di NU Tasikmalaya
           





[1] Ali Jum’ah, al-Bayân al-Qawwîm Li Tashhîh Ba’d al-Mafâhim (Beirut: Dâr al-Fikr, 2004), h. 185.
[2] Ibn Hajm, al-Mahalli bi al-Atsar (Beirut: Dâr al-Kutub, 1998), juz 2, h. 22.
[3] Ibn Hajm, al-Mahalli bi al-Atsar…h. 36.
[4] HR. Ahmad (3/363), al-Tirmidzi (2/379), menurut al-Hitsami, seluruh rawi dalam hadis ini adalah tsiqat.
[5] HR. Ahmad (4/340), Bukhari (1/275), Abu Daud (1/204), Nasai (1/222).
[6] HR. Bukhari (1/366 dan 3/1371)
[7] Ali Jum’ah, al-Mutasyaddidûn: Manhajuhum wa Munâqasyat Ahamm Qadhâyâhum (Jakarta: Lentera Hati, 2014), h. 192.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Cara Ulama memahami Konsep al-Tarku (sesuatu yang tidak dilakukan Nabi)"

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel