Cara Ulama memahami Konsep al-Tarku (sesuatu yang tidak dilakukan Nabi)
May 25, 2015
Add Comment
Ciputat, Faquha.site - Saudara-saudara
kita yang lantang menyuarakan perayaan maulid Nabi (ataupun suatu amaliah yang
tidak sejalan dengannya) sebagai BID’AH TERCELA senantiasa menjadikan alasan
bahwa Rasulullah tidak mencontohkannya. Di sini akan dibahas sekilas tentang
bagaimana sebenarnya konsep at-Tarku
(sesuatu yang tidak Rasulullah lakukan) dalam tatanan hukum islam.
Al- Syeikh Ali
Jum’ah (Mufti Agung Mesir) mengutip sya’ir yang ditulis oleh al-Shâdiq
al-Ghumari dalam Husn al-Tafâhum wa
al-Dark li Mas’alat al-Tark:
Al-Tark bukanlah hujjah dalam
syari’at kita
Ia tidak melahirkan larangan atau
perintah
Barang
siapa yang menganggap apa yang ditinggalkan Nabi
Sebagai
larangan
Dan
menganggapnya sebagai hukum benar nan tepat
Dia
telah tersesat dari jala-jalan dalil agama[1]
Para ulama, baik
di Barat maupun di Timur, salaf maupun khalaf, mereka sepakat bahwa sesuatu
yang tidak diamalkan Nabi SAW bukan cara yang digunakan untuk menetapkan dalil
hukum keharamannya.
Cara yang mereka (para ulama) gunakan dalam rangka
menetapkan hukum syari’at, baik hukum wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram
adalah: 1. Adanya nash al-Qur’an, 2. Adanya nash yang shahîh dan sharîh dari
Sunnah, 3. Ijma’ ulama atas sebuah hukum, 4. Qiyas. Sedangkan dalam beberapa
hal berikut, para ulama berbeda pendapat: 5. Qaul al-Shahabah, 6. Saddu
al-Dzari’ah, 7. Amal ahl al-Madinah, 8. Hadis Mursal, 9. Istihsan, 10. Hadis
Dha’if, dan cara-cara lain yang dianggap mu’tabar oleh para ulama. Sedangkan
konsep al-Tarku tidak termasuk pada
cara yang digunakan ulama.
Konsep al-Tarku tersebut tidak melahirkan hukum
syari’at apapun. Ini telah menjadi kesepakatan di kalangan ulama. Terdapat
banyak bukti bahwa para sahabat tidak memahami al-Tarku sebagai perintah yang menunjuk pada perbuatan haram,
bahkan hukum makruh juga tidak. Ini yang dipahami oleh seluruh ulama sepanjang
masa.
Imam Ibn Hajm menolak pandangan madzhab Maliki dan Hanafi yang menetapkan
hukum makruh mengerjakan shalat dua raka’at sebelum maghrib hanya karena
beralasan bahwa Abu Bakar, Umar, dan Utsman tidak pernah melakukan shalat
tersebut. Ibn Hajm berkata, “Ini tidak apa-apa, awalnya adalah hadis yang
munqathi’, karena Ibrahim tidak bertemu dengan seorang pun dari sejumlah rawi
yang kami sebutkan, Ibrahim belum dilahirkan kecuali setelah dua tahun pasca
kematian Utsman, kemudian seandainya hadis tersebut adalah shahîh maka tetap
saja hadis ini tidak mengandung sebuah hujjah, karena dalam hadis itu mereka
(Abu Bakar, Umar, Utsman) tidak melarang mengerjakan shalat sebelum maghrib,
mereka juga tidak menganggapnya makruh. Kami tidak berbeda dengan mereka bahwa
meninggalkan segala hal yang sunnah adalah boleh hukumnya.”[2]
Ibnu Hajm tidak tinggal diam dalam membicarakan tentang para sahabat yang tidak
mengerjakan (al-Tarku) shalat dua
rakaat (sebelum maghrib).
Ibn Hajm menyebutkan, para sahabat yang meninggalkan
shalat tersebut tidak mengapa, sepanjang mereka tidak menjelaskan bahwa shalat
tersebut makruh dilakukan. Dan para sahabat tidak pernah mengatakan yang
demikian itu.
Metode di atas
adalah cara Ibn Hajm dalam melihat persoalan ibadah yang ditinggalkan oleh para
sahabat. Sikap Ibn Hajm yang demikian ini juga ditunjukan ketika berbicara soal
ibadah yang tidak dikerjakan oleh nabi Muhammad SAW., yang pada dasarnya
disyari’atkan. Ibn Hajm berpendapat soal nabi Muhammad SAW yang tidak pernah
melakukan puasa sebulan penuh, kecuali Ramadhan, fakta ini tidak lantas
menegaskan bahwa berpuasa sebulan penuh selain bulan Ramadhan adalah makruh.[3]
Maka dapat dipahami bahwa kenyataan nabi Muhammad tidak pernah berpuasa sebulan
penuh selain bulan Ramadhan, tidak lantas menyebabkan puasa sebulan penuh
selain bulan Ramadhan adalah makruh atau haram, sekalipun Nabi tidak pernah
mengerjakannya.
Adalah fakta
bahwa Nabi SAW meninggalkan berkhutbah di atas mimbar, nabi Muhammad SAW.
mamilih berkhutbah di dekat sebatang kayu, dan para sahabat tidak
mengartikannya bahwa berkhutbah di atas mimbar adalan bid’ah dan haram,
sehingga para sahabat membuat mimbar untuknya.[4]
Adalah mustahil para sahabat melakukan sesuatu yang diharamkan nabi Muhammad
SAW. karena itulah dapat dipahami bahwa para sahabat tidak menganggap sesuatu
yang tidak dikerjakannya adalah perbuatan bid’ah.
Ketika
mengerjakan shalat, setelah mengangkat kepala dari ruku’, nabi Muhammad SAW.
tidak membaca, “Rabbana wa laka al-hamd
hamdan katsîra…” para sahabat tidak menganggap do’a yang ditinggalkan Nabi
tersebut sebagai sebuah larangan dan pantangan ketika shalat. Jika tidak, maka
bagaimana mungkin sahabat melakukan sesuatu yang diyakini haram? Dan Nabi
sendiri tidak mencela pemahaman yang demikin ini, semisal Nabi bersabda, “Aku
menganggapnya baik…” Nabi juga tidak melarang merangkai do’a-do’a sendiri
ketika mengerjakan shalat. Padahal kita tahu, menunda penjelasan ketika dibutuhkan adalah tidak boleh dilakukan.
Sedangkan Hadis yang diriwayatkan oleh Rifa’ah ibn al-Rafi al-Zarki, “Pada
suatu hari kami shalat di belakang Nabi, dan setelah beliau mengangkat
kepalanya dari ruku’, ia membaca,”Sami’a
Allah liman hamidah…” kemudian terdapat seseorang di belakang beliau
meneruskan, “…hamdan katsîran thayyiban
mubâraka…” setelah Nabi Muhammad SAW. selesai shalat, lalu belia bertanya,
”Siapa yang membacanya barusan itu?” Lelaki itu berkata, “Saya…” Nabi bersabda,
”Aku melihat 30 lebih malaikat tergesa-gesa (berebut) siapa yang duluan menulis
(pahala bacaan itu).”[5]
Sahabat Bilal RA
tidak menganggap perbuatan Nabi SAW. yang tidak pernah mengerjakan shalat
sunnah setelah wudlu sebagai petunjuk tidak bolehnya melakukan shalat tersebut.
Bahkan Bilal RA melakukan shalat sunnah itu. Padahal nabi Muhammad SAW. tidak
pernah mengajarkan hal itu. Akan tetapi setelah nabi Muhammad bertanya, “Wahai
Bilal, ceritakan kepadaku amal perbuatan apa dalam Islam yang paling kamu suka?
Sebab aku mendengar gerak langkah sandalmu di surga?” Bilal RA menjawab, “Tidak
ada amal perbuatan yang lebih aku suka kecuali ketika aku sudah bersuci baik di
malam hari ataupun siang hari, aku langsung mengerjakan shalat yang diwajibkan
bagiku.”[6]
Kita tahu bahwa
shalat setelah wudlu menjadi sunnah setelah nabi Muhammad SAW. menyetujuinya.
Akan tetapi kita akan mengambil sebuah dalil hukum sebagaimana yang dipahami
para sahabat tentang bolehnya membuat do’a-do’a sendiri dan mengerjakan
shalat-shalat yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi SAW. Kita akan berbuat
seperti itu juga, mengingat nabi Muhammad SAW. tidak mengingkari cara dan
perbuatan demikian ini, dan para sahabat juga tidak melarang hal semacam ini di
kemudian hari.
Dari paparan di
atas, kita tahu bahwa apa yang tidak dikerjakan oleh Nabi dan para sahabatnya,
baik oleh tiga generasi terbaik setelah itu, sama sekali tidak memberi
keputusan hukum apapun, tidak haram, tidak makruh, dan tidak pula keduanya.
Inilah apa yang dipahami oleh nabi Muhammad SAW. semasa hidup beliau. Dan Nabi
juga tidak mengingkari hasil pemahaman para sahabatnya. Serta beginilah para
ulama berikutnya memahami hukum agama.
Dalam tulisan ini penulis hanya
menunjukan sedikit dari karya para ulama terbaik umat perihal perayaan Maulid
Nabi, dan tidak menanggapi subhat-subhat serta tuduhan miring para pengingkar Maulid
Nabi. Cukuplah apa yang dikatakan al- Syeikh Ali Jum’ah, “Tidaklah perlu
diperhatikan pandangan orang yang nyeleneh dan melawan arus kesepakatan amali
umat dan pendapat para ulama”.[7] Sebagai
penutup tulisan ini saya akan mengutip sya’ir Burdahnya al-Bushiri:
Dialah yang mulia jiwa dan raganya
Tuhan pencipta rasa menjadikannya
kekasih
Terhindar dari penyerupa dalam
keindahannya
Tidak terbagi esensi keindahan dalam
dirinya
Biarkan apa yang diucapkan orang
Nasrani pada nabi mereka
Sematkan padanya (Muhammad)
kemuliaan apapun yang engkau sukai
Sematkan pula padanya keagungan
apapun yang engkau senangi
Karena keutamaan Rasulullah tidaklah
terbatasi
Tulisan disalin dari Makalah Yayan Bunyamin S.Th.I, yang dipersentasikan pada Kajian di NU Tasikmalaya
[1]
Ali Jum’ah, al-Bayân al-Qawwîm Li Tashhîh Ba’d
al-Mafâhim (Beirut: Dâr al-Fikr, 2004), h. 185.
[2]
Ibn Hajm, al-Mahalli bi al-Atsar (Beirut: Dâr
al-Kutub, 1998), juz 2, h. 22.
[3]
Ibn Hajm, al-Mahalli bi al-Atsar…h. 36.
[4]
HR. Ahmad (3/363),
al-Tirmidzi (2/379), menurut al-Hitsami, seluruh rawi dalam hadis ini adalah
tsiqat.
[5]
HR. Ahmad (4/340), Bukhari
(1/275), Abu Daud (1/204), Nasai (1/222).
[6]
HR. Bukhari (1/366 dan
3/1371)
[7]
Ali Jum’ah, al-Mutasyaddidûn: Manhajuhum wa Munâqasyat
Ahamm Qadhâyâhum (Jakarta: Lentera Hati, 2014), h. 192.
0 Response to "Cara Ulama memahami Konsep al-Tarku (sesuatu yang tidak dilakukan Nabi)"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR