Pembagian Bid'ah; Komparasi Wahhabi-anti Wahhabi
January 17, 2015
Add Comment
A. Prespektif Kalangan Wahhabiyyah
Dalam ajaran kaum Wahhâbiyyah, seuatu yang bid’ah dalam ibadah
pasti terkategorikan pada bid’ah dalâlah dan terlarang. bid'ah dalam agama adalah sesuatu yang tidak dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Wahâbiyyah membagi membagi bid’ah kepada dua bagian yakin pertama: Bid’ah
secara lughawi, bid’ah ini adalah bid’ah dalam duniawi bukan dalam
Ibadah dan hukum bid’ah ini adalah mubâh.
Kedua: bid’ah
dalam Ibadah/agama semuanya haram. yang dimakud dengan bid'ah dalalah adalah bid'ah dalam agama, oleh karena itu bid'ah dalam agama pasti haram, karena dalalah akan masuk neraka. Muhammad bin Abd al-Wahhâb berkata:
وَأَعْتَقِدُ أَنَّ كُلَّ
مُحْدَثَةٍ فِى الدِّيْنِ بِدْعَة
“Saya menyakini bahwa sesuatu yang baru dalam
agama adalah bid’ah”
Artinya pengikut Wahâbiyyah menolak pembagian
bid’ah ibadah terbagi dalam bid’ah hasanah dan sayyiah.
Atau terbagi ke dalam bid’ah yang wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah sesuai
dengan hukum taklîf
Adalah Abdullah bin Baz (1330-1420 H)
pengikut Wahhâbiyyah tulen telah membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu: “Bid’ah dunyâwiyyah disebut juga
dengan lughâwiyyah disebut juga
dengan ’âdiyah adalah hukumnya mubâh” Dan Bid’ah dîniyah disebut juga bid’ah
syar’iyyah hukumnya haram
Bin Bâz menolak pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyiah dalam
bid’ah dîniyah/syar’iyyah. Karena keumuman teks dalam hadis kullu
bid’ah dalâlah, kata kullu menunjukkan
arti umum yang memberi arti al istigrâq li jami’ al-afrâd
Sama menggunakan hadis ini, tokoh wahhabi lainnya yakni Syaikh Muhammad al-Utaismin dalam kitabnya Syarah Aqidah al-Wasitiyyah berkata "Qauluhu kullu bid’atin dalâlah adalah kalimat umum tidak boleh dibatas-batasi (dibagi menjadi boleh dan tidak)
B. Prespektif Kalangan anti Wahhabi
Bid'ah dilihat dari sisi bahasa dan bid'ah dilihat dari sisi agama/ibadah. Bid'ah dalam Agama/Ibadah terbagai menjadi dua, yakni masuk ke dalam bid'ah hasanah, dan bid'ah sayyiah (tadi wahhabi dalam bid'ah ibadah tidak terbagi dua)
Kalangan anti Wahhabi (sebut saja NU, pembaca dapat menemukannya dalam jawaban-jawaban KH. Idrus Ramli, Tokoh Intelektual Muda NU) memiliki keyakinan bahwa sesuatu yang tidak dicontohkan oleh Nabi tidak otomatis menjadi bid'ah terlarang (sekalipun bid'ah menurut bahasa)
Karena ada ajaran dalam agama yang tidak dicontohkan Nabi, tapi dilakukan oleh Umar bin Khattab yakni Salat Tarawih berjama'ah, padahal Nabi tidak mencontohkan untuk berjamaah. Contoh dua adalah Bilal bin Rabah selalu melaksanakan dua rakaat setelah wudu, padahal Nabi tidak pernah melakukannya. Lalu Bilal dimimpikan Nabi telah masuk surga, sehingga Nabi bertanya kepada bilal "Wahai Bilal aku telah mendengar suara sandalmu di dalam surga, lantas amalan apa yang selalu kau biasakan?" Bilal menjawab, Salat Sunnah setelah wudu.
Demikianlah Bilal mensunahkan salat untuk dirinya sendiri pada waktu tidak disunahkan oleh Nabi Saw. sekalipun pada setelahnya Salat sunat setelah wudu di takrirkan (ditetapkan oleh Nabi)
Karenanya sesuatu yang bid'ah dan terlarang bukan sesuatu yang Nabi tidak mengerjakan (Tarku), tapi sesuatu yang Nabi larang (Nahyu). para ulama, baik salaf maupun khalaf, dari timur maupun dari Barat, sepakat mengatakan bahwa "tidak dilakukan (tarku)" bukan untuk menggali hukum secara Independen untuk hukum Agama. untuk menggali hukum Agama baik Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh dan Haram adalah berlandaskan Al-Qur'an, Sunnah, Ijma, dan Qiyas bukan dari memahami tarku.
Selanjutnya dalam memahami Hadis kullu bid'ah dalalah (setiap bid'ah sesat), perlu diketahui bahwa hadis ini di Takhrij oleh Imam Muslim dalam Sahih Muslim, dan salah satu pensyarah Sahih Muslim adalah Imam al-Nawawi dalam karyanya "Syarah Muslim"
Imam al-Nawawi Ketika mengomentari hadis kullu bid’ah dalâlah adalah lapad umum yang jangkauannya dibatasi.
Yang dimakud dengan kullu bid’ah adalah gâlibul bida (kebanyakan bid’ah tidak semua bid’ah) dalam hadis lain, yang membatasi keumuman hadis ini adalah riwayat muslim juga dengan no hadis 4830 berikut selengkapnya:
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ
بْنُ حَرْبٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ سَنَّ
فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ
أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ
فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ
مِثْلُ وِزْرِ
Barangsiapa
yang memulai dalam islam perbuatan yang hasanah
Jadi poinnya adalah (Kalau memulai berarti bid’ah
karena sebelumnya tidak ada)
dan barangsiapa yang memulai dalam islam
perbuatan (berarti bid’ah sayyiah) ini menjadi dalil bahwa bida'h ada yang hasanah dan sayyiah
Catatan: Bagi pembaca yang ingin mengetahui referensi selengkapnya dari artikel ini selahkan komen, karena footnote dari artikel ini cukup banyak, mengingat ini adalah BAB terakhir dari Skripsi saya yang persentasikan 2014 lalu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Wallahu 'Alam
0 Response to "Pembagian Bid'ah; Komparasi Wahhabi-anti Wahhabi"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR