Kritik Gus Nadirsyah terhadap JIL
July 11, 2018
Add Comment
Perbedaan dua gaya ini membuat JIL seringkali alpa memperhitungkan target market ide mereka. Harun Nasution pelan-pelan merombak kurikulum IAIN, menulis buku teks, dan menghindari popularitas semu di ruang publik.
JARINGAN Islam Liberal (JIL) akhir pekan lalu memperingati ulang tahun kelima. Sejak kelahiran JIL, 2001, Ulil Abshar-Abdalla dan kawan-kawan, yang sejatinya hendak mengembangkan pemahaman Islam bercorak liberal, kerapkali memicu kontroversi.
Berbeda dengan model pembaruan Islam yang dicanangkan Harun Nasution (1919-1998) dan Nurcholish Madjid (1939-2005), JIL bukan lahir dari gerakan kampus. Ali-alih menguji gagasan kontroversialnya dalam tembok kampus, JIL tumbuh di Utan Kayu dan karenanya lebih bergaya LSM.
Perbedaan dua gaya ini membuat JIL seringkali alpa memperhitungkan target market ide mereka. Harun Nasution pelan-pelan merombak kurikulum IAIN, menulis buku teks, dan menghindari popularitas semu di ruang publik.
Cak Nur pun demikian. Setelah kontroversi pemikirannya pada 1970-an, Cak Nur kemudian menggagas ide-idenya dengan lebih taktis di ruang kelas IAIN atau Paramadina. Yang menjadi target pemasaran ide mereka berdua adalah kalangan terpelajar. Pada kelompok terpelajar inilah gagasan mereka memiliki kaki.
Kegagalan memilih pasar ide membuat JIL berhadapan langsung dengan kalangan akar rumput. Dipilihnya koran, talkshow di radio, dan diskusi di internet telah membuat pemikiran JIL menembus batas dunia kampus. Tidak mengherankan kalau reaksi yang muncul pun lebih menggelegar di mana-mana ketimbang pembaruan model pendahulu mereka.
Jikalau kehadiran JIL lima tahun silam dimaksudkan untuk membendung arus radikalisme umat, JIL malah menjelma menjadi ''musuh bersama'', baik dari kalangan moderat semacam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama maupun dari kalangan yang dianggap sebagai garis keras. Konsentrasi tokoh-tokoh JIL untuk merespons tema-tema yang dikembangkan kalangan Islam garis keras membuat JIL tidak hanya larut dalam debat kusir, melainkan juga membuatnya alpa membina komunikasi dengan tokoh-tokoh Islam moderat.
Ulil Abshar-Abdalla, yang sebenarnya memiliki modal sosial untuk mendekati kalangan pesantren, lebih asyik berkumpul di ruang seminar ketimbang mengikuti jejak KH Abdurrahman Wahid yang memiliki mobilitas tinggi mengunjungi para kiai di pelosok pedesaan sambil menyosialisasikan pandangan dan gagasannya.
JIL seharusnya juga memilah sasaran tembak. JIL perlu mendekati ''sayap moderat'' yang ada di tubuh kelompok Tarbiyah, Hizbut Tahrir, ataupun Dewan Dakwah. Adalah sebuah kekeliruan untuk mengatakan semua anggota kelompok ini sebagai garis keras. Spektrum perbedaan di tubuh kelompok fundamentalis juga banyak, sehingga dengan pendekatan yang tepat, ide JIL sebenarnya masih bisa didialogkan dengan sebagian ''sayap moderat'' di kelompok tersebut.
Masalah bahasa penyampaian ide juga sering disepelekan oleh kalangan JIL. Ketimbang mengambil teori hermeneutika yang terasa asing di telinga umat, JIL sebenarnya bisa lebih cantik menyajikan pandangannya dengan mengambil khazanah dari dalam pemikiran Islam sendiri. Konsep ta'wil, misalnya, bisa diperluas dan didiskusikan lebih jauh.
Yang terkesan kemudian, JIL lebih ingin tampil genit dan seksi ketimbang berusaha agar gagasannya lebih bisa diterima umat. Akhirnya, semua ide yang dianggap aneh di masyarakat dinisbatkan kepada JIL, meskipun belum tentu JIL yang jadi sebabnya.
JIL juga bermasalah dalam menentukan topik kajian. Kontroversi mengenai pernikahan antaragama dan Quran edisi kritis adalah contohnya. Sulit dimungkiri bahwa kajian JIL terkesan elitis dan tidak menyentuh langsung problematika umat di kalangan akar rumput.
Pada satu sisi, JIL hendak keluar dari sekat dinding kampus dan langsung terjun bebas ke masyarakat, tapi pilihan topik yang disajikannya gagal memenuhi kebutuhan nyata umat. Pada titik ini, penting dicatat keberpihakan sebagian tokoh JIL akan naiknya harga BBM membuat JIL makin berjarak dengan kalangan akar rumput. Bahkan ada yang dengan sinis menganggap JIL telah berubah menjadi Jaringan Islam Neo-Liberal.
Masalah lain, layaknya sebuah LSM, JIL sangat bergantung pada dana dari pihak asing. Iklim yang diembuskan dewasa ini melalui teori benturan peradaban (the clash of civilization) membuat JIL dianggap sebagai kaki tangan kepentingan pihak asing dalam mengobok-obok umat.
JIL tampaknya harus berpikir serius mengenai kemandirian dana itu agar kredibilitas mereka tidak terlalu jatuh di mata umat, lebih-lebih di tengah konflik yang cenderung tidak sehat antara Islam dan Barat dewasa ini.
Saran lain, JIL sebaiknya mulai berpikir untuk menyewa jasa konsultan profesional yang bisa membantu JIL dalam menentukan target market, medium penyampai gagasan, pilihan topik, dan skala prioritas agenda kerja. Kalau tidak, JIL kelihatannya sulit untuk berusia panjang dan lambat laun akan menjelma jadi kartu mati. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.
0 Response to "Kritik Gus Nadirsyah terhadap JIL"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR