Dosakah Menjadi Indonesia
August 5, 2017
Add Comment
Dosakah Menjadi Indonesia Oleh Ayik Heriansyah
Sudah 72 tahun Indonesia merdeka, ternyata masih ada "orang" di Indonesia yang secara psikologi politik merasa malu, risih, bahkan berdosa mengakui Indonesia sebagai negara dan bangsanya. "Orang" di Indonesia lahir, besar, hidup dan mencari penghidupan di sini tanpa bangsa dan negara. Mereka bukan warga negara asing yang memiliki paspor luar negeri. Karena di luar Indonesia mereka juga tidak punya bangsa dan negara.
"Orang" di Indonesia kebanyakan bagian dari komunitas transnasional. Komunitas transnasional merupakan komunitas yang identitas budaya, kesetiaan politik dan orientasi psikologisnya melampaui batas-batas nasional. (Andrew Heywood, terj. 2016:326). Di antara komunitas transnasional yang menonjol adalah ISIS, HTI dan sebagian Salafi Wahabi.
"Orang" di Indonesia memandang Indonesia dari perspektif komunitas mereka. Dari doktrin, nilai, norma dan standar mereka. Persepsi-persepsi ini sudah jadi dogma yaitu keyakinan tertutup yang tidak diuji, diverifikasi dan dikonfirmasi dengan kenyataan. Keyakinan yang ditanamkan sebagai materi pembinaan.
Ciri khas "orang" di Indonesia menjadi bagian dari komunitas transnasional mereka mencita-citakan kehidupan kosmopolitanisme melintasi bangsa dan negara bangsa. Kosmopolitanisme secara harfiah berarti keyakinan terhadap kosmopolis atau negara dunia. Kosmopolitanisme moral adalah keyakinan bahwa dunia seharusnya terdiri atas satu komunitas moral tunggal di mana setiap orang memiliki kewajiban kepada orang lain apapun nasionalitasnya, agama, budaya dan etnisnya. (Andrew Heywood, terj. 2016:327). Kosmopolitanisme dalam bentuk Khilafah.
Hal mendasar yang membuat "orang" di Indonesia tidak bisa menjadi Indonesia karena faktor ideologi dan sejarah. Menurut mereka ideologi negara Indonesia, ideologi kufur, pemerintahannya thaghut, hukumnya hukum jahiliyah, penguasanya pengkhianat antek-antek Barat, sejarah terbentuknya buah dari gerakan separatis (bughat) terhadap Khilafah Utsmaniyah dan proyeksi masa depan Indonesia yang tidak sesuai dengan Nubuwwah Nabi saw tentang Khilafah 'ala Minhajin Nubuwwah.
Sebenarnya sudah banyak kajian ilmiah fiqhiyah yang membantah persepsi mereka. Nah, tidak ada salahnya dibongkar kembali persepsi mereka guna mengurai kekusutan nalar, meluruskan pemahaman dan menghilangkan beban serta hambatan psikologi politik "orang" di Indonesia menjadi orang Indonesia seutuhnya.
Secara global kesalahan fatal "orang" di Indonesia seperti HTI dan ISIS, mereka mencampuradukkan fakta bentuk negara, sistem pemerintahan, sejarah berdirinya negara dan perilaku penguasa. Akibatnya, nalar mereka kusut. Tentu tidak sesuai tradisi berpikir fiqih Islam "menghukumi fakta per fakta secara terperinci". Apakah karena kedangkalan ilmu mereka atau karena kemalasan berpikir serius, sistematis, metodis dan mendalam atau karena ghirah keberislaman yang over dosis, yang pasti mereka keliru menilai Indonesia.
Mengingat pembahasan syar'i tentang negara, pemerintahan dan penguasa sudah banyak, kali ini saya mau meluruskan pemahaman "orang" di Indonesia tentang masa lalu dan masa depan Indonesia. Masa lalu terkait dengan sejarah pembentukan negara Indonesia, sedangkan masa depan membahas positioning Indonesia berhubungan dengan Nubuwwah Nabi saw.
*Nasionalisme: Unifikasi Anti Kolonial*
Bagi "orang" di Indonesia, Khilafah Turki Utsmani negara ideal yang jadi standar untuk menilai keabsahan negara lain. Meskipun idealisme ini jauh dari kenyataan, "orang di Indonesia menyalahkan keberadaan negara muslim selain Khilafah Turki Utsmani.
Sudah menjadi fakta sejarah, negara-negara Arab modern terbentuk dari konspirasi Eropa dengan penguasa lokal untuk memberontak terhadap Khilafah Turki Utsmani. Ide nasionalisme yang diusung penguasa Arab saat itu, nasionalisme separatisme anti Turki Utsmani pro kolonial Eropa. Kenyataan ini membuat "orang di Indonesia mengharamkan nasionalisme.
Lain halnya dengan sejarah Arab modern, rakyat Indonesia kemerdekaannya 17 Agustus 1945, 21 tahun setelah runtuhnya Khilafah Turki Utsmani. Khilafah Turki Utsmani resmi dibubarkan pada tanggal 3 Maret 1924. Jadi tidak masuk akal jika Indonesia berdiri sebagai hasil pemberontakan (separatisme) terhadap Khilafah Turki Utsmani karena ketika Indonesia berdiri Khilafah Turki Utsmani sudah tidak ada.
Selain gagal paham soal proses pembentukan negara Indonesia, "orang" di Indonesia mewacanakan persatuan umat sebagai alasan syar'i untuk mendirikan Khilafah.
Mereka mengambil fakta unifikasi negara Eropa ke dalam Uni Eropa sebagai bukti kemungkinan unifikasi umat dalam bingkai Khilafah. Unifikasi Eropa secara terbatas pertama kali tahun 1957. Sampai sekarang baru bisa menggabungkan 27 negara. Unifikasi Eropa sebentuk asosiasi negara-negara Eropa bukan leburan yang membentuk satu negara kesatuan baru.
Lagi-lagi "orang di Indonesia gagal membaca sejarah Indonesia. Indonesia 12 tahun ebih dulu dari unifikasi Eropa. Indonesia berdiri hasil unifikasi dari berbagai kesultanan di nusantara, ormas-ormas Islam dan kalangan non Islam.
Hasil riset Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada 2012, ada 186 kerajaan yang masih eksis secara fisik, yakni wilayah, bangunan, budaya, dan struktur monarki, namun tidak berdaulat lagi karena bergabung dengan NKRI.
Di antara 186 kesultanan yang secara garis keturunan dan budaya masih kuat di antaranya Kesultanan Yogyakarta, Kesultanan Surakarta, Kasultanan Cirebon, Kerajaan Ternate, dan Kesultanan Kanoman.http://m.liputan6.com/news/read/2371749/5-kerajaan-yang-masih-eksis-di-tanah-air. Berbeda dengan nasionalisme Arab, nasionalisme Indonesia bersifat unifikasi dan anti kolonial.
*Indonesia Makmur Tanpa Khilafah*
Dari 400-an hadits tentang Nubuwwah akhir zaman, tidak ditemukan hadits yang menyebut Indonesia secara spesifik. Juga tidak ada hadits yang menunjuk langsung atau dengan qarinah (indikasi) bahwa Indonesia akan jadi Khilafah. Sehingga positioning Indonesia di masa depan dapat diprediksi dari keumuman dalil tentang keadaan negeri-negeri di akhir zaman.
Jumhur ulama sepakat bahwa Khilafah 'ala minhajin nubuwwah yang kedua akan terjadi di bawah kepemimpinan Imam Mahdi didampingi Nabi Isa as. Adapun pendapat yang mengatakan Khilafah 'ala minhajin nubuwwah yang kedua terwujud sebelum Imam Mahdi, pendapat ini masih khilafiyah karena bersandar pada dalil-dalil umum tentang kemakmuran umat di akhir zaman. (Al-Hajj: 40; Ash-Shaffat: 171-173; Muhammad; 7; Al-Mujadilah; 21; Al-A'raf: 128; Al-Anbiya: 105; Al-Mu'min: 51; An-Nur: 55).
Sedangkan Khilafah yang dipimpin oleh Imam Mahdi secara khusus disebutkan dalam sejumlah hadits. Imam Mahdi dibai'at di Makkah dekat Ka'bah antara Rukun Yamani dan Maqam Ibrahim (HR. Nu'aim bin Hammad, Hakim dan Ath-Thabari dalam Ausath dari Ummu Salamah. Abu Dawud kitab al-Mahdi no. 4286 dan al-Hakim kitan al-Fitan wal Malahim no. 8326). Kemudian Imam Mahdi melakukan ekspansi di jazirah Arab, menaklukkan Persia dan malhamah kubra di A'maq dan Dabiq dekat Damaskus.
Adapun Nabi Isa bin Maryam akan turun di menara putih bagian timur kota Damaskus (HR. Muslim, kitab al-Fitan wa Asyrath As-Sa'ah, ban Dzikr ad-Dajjal 18: 67-68). Kemudian Nabi Isa as membunuh Dajjal dekat Baitul Maqdis (HR. Ahmad, Baqi Musnad al-Mukatstsirin hadits no. 14965, Ibnu Majah, hadits no. 4077).
Berdasarkan keumuman dalil-dalil kemenangan, kejayaan dan kemakmuran umat Islam dan merujuk pada kekhususan hadits-hsdits tentang Imam Mahdi dan Nabi Isa as di mana setting lokasinya di kawasan Arab yaitu Makkah, Madinah, Hijjaz, Syam, A'maq, Dabiq, Damaskus dan Baitul Maqdis, maka bisa diprediksi umat Islam di Indonesia juga mengalami masa kemakmuran gemah ripah loh jenawi walaupun bukan pusat Khilafah 'ala minhajin nubuwwah.
Dengan demikian di masa depan Indonesia makmur dan sejahtera tanpa harus jadi Khilafah. Perjuangan "orang" di Indonesia akan sia-sia karena bertentangan dengan hadits-hadits tentang Imam Mahdi dan Nabi Isa as. Belum terlambat untuk kembali ke Indonesia. Jadilah Indonesia lahir batin. Menjadi Indonesia kewajiban syar'i bagi pribumi dan warga negaranya.
0 Response to "Dosakah Menjadi Indonesia"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR