Rezim Anti Goblok
REZIM ANTI GOBLOK
Pasca panglima laskar jadi tersangka dan diseretnya para tokoh makar, tokoh radikal dan oknum-oknum penebar hoax & ujaran kebencian di medsos serta rencana pembubaran ormas2 anti Pancasila, pemerintahan Jokowi mendapat label baru dari mereka yaitu sebagai “Rezim represif anti Islam.” Ini jelas suatu kesimpulan yang luar biasa ngawur.
Jokowi dekat dengan tokoh-tokoh NU seperti KH. Aqil Siradj dan tokoh Muhammadiyah seperti Buya Syafi’i Ma’arif. Jadi jelas Jokowi bukan anti Islam. Jika Jokowi anti Islam pastilah KH. Aqil Siradj dan Buya Syafi’i sudah lama “dikriminalisasi”. Mayoritas pejabat yang diangkat mulai dari menteri, gubernur, walikota, bupati, camat, lurah hingga ketua RT juga orang Islam. Musisi, aktor, stand up comedian, wartawan dan satpam mayoritas juga orang Islam. Yang jadi kyai, ustadz, ustadzah, penghulu, marbot hingga guru ngaji di kampung-kampung juga orang Islam.
Anggaran Kementerian Agama dalam APBN itu juga sebesar 62 trilyun, nomor 3 terbesar yang bahkan mengalahkan anggaran buat pendidikan dan kesehatan. Dan yang paling banyak menikmati anggaran tersebut jelas juga adalah orang Islam karena Kemenag hampir bisa disebut sebagai Kementerian Agama Islam karena yang diurusin ya mayoritas urusan orang Islam mulai dari urusan kawin, cerai, kawin lagi, warisan de el el. Jadi stigma pemerintah sebagai rezim anti Islam jelas ngawur berat.
Tapi memang saat ini pemerintah cukup tegas dalam melakukan penegakan hukum terhadap oknum ataupun ormas Islam radikal yang selama ini bisa dibilang kebal hukum dan berlaku sewenang-wenang seakan berada di atas hukum. Penegakan hukum ini sebenarnya bisa dibilang cukup terlambat tapi itupun sudah lebih baik daripada tidak sama sekali.
Memang selama ini mereka selalu mengatasnamakan Islam dalam setiap aksi mereka seakan-akan hanya mereka yang paling sah dan paling benar menafsirkan Islam dan hanya mereka yang boleh disebut Islam sedangkan yang berbeda pendapat dengan mereka selalu dituding sebagai kafir, sesat, murtad, munafik, liberal dan sekuler. Mereka bersikap seolah mewakili aspirasi umat Islam seIndonesia bahkan sedunia akhirat. Kritik terhadap mereka langsung saja dimusuhi dan dicap sebagai kritik kepada Islam. Melawan mereka akan langsung dianggap sebagai anti Islam. Ini koplak bin ngawur bin anjrit namanya.
Mengacu data Sensus Penduduk 2010 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk Indonesia yang beragama Islam sebesar 87,18%. Menggunakan data ini maka tahun 2016 penduduk Indonesia yang beragama Islam berjumlah 223,18 juta jiwa. Survey dari Indo Barometer menyebutkan sekitar 75 % mengaku sebagai warga nahdliyin. Artinya jumlah warga NU sekitar 143 juta di tahun 2000. Survei yang dilakukan oleh LSI menunjukkan warga yang teridentifikasi Nahdhatul Ulama 36,5%, sedangkan Muhammadiyah hanya 5,4%.
Alvara Research Center juga melakukan estimasi bahwa penduduk muslim Indonesia 50,3% mengaku berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama, dan 14,9% mengaku berafiliasi dengan Muhammadiyah. Hal ini berarti jumlah penduduk muslim yang berafiliasi dengan NU berjumlah 79,04 juta jiwa dan yang berafiliasi dengan Muhammadiyah 22,46 juta jiwa.
Bayangkan, warga NU dan Muhammadiyah yang total jumlahnya antara 100-200 juta jiwa saja tidak pernah tepuk dada, mengaku-ngaku dan mengatasnamakan diri sebagai umat Islam seIndonesia tapi ormas yang anggotanya cuma beberapa gelintir saja malah mengaku sudah mewakili umat Islam seIndonesia bahkan sedunia akhirat. Mereka bahkan menganggap Bibib sebagai Imam Besar umat Islam se-Indonesia. Itu sebabnya NU-Muhammadiyah disebut sebagai silent majority (mayoritas yang diam) sedang mereka disebut sebagai noisy minority (minoritas yang ribut / bawel).
Selain itu NU dan Muhammadiyah juga sudah turut memberikan sumbangsih dan perjuangannya dalam kemerdekaan bangsa sedangkan ormas-ormas kemarin sore yang kebanyakan import itu bisa dibilang tidak memiliki jasa bagi perjuangan dan kemerdekaan bangsa tapi justru merekalah yang paling resek, paling bawel, paling cerewet, paling ribut dan suka bikin ricuh kondisi bangsa hingga bercita-cita pingin mengganti dasar negara yang sah,
Warga NU juga senantiasa turut aktif dalam menjaga keutuhan NKRI, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika bahkan PBNU bisa dibilang singkatan dari Pancasila, Bhinneka tunggal ika, NKRI dan UUD 45 (PBNU). Tapi justru oleh mereka NU dianggap sebagai aliran Islam yang sesat. NU dibilang sebagai Nipu Umat, Aliran Nusantara dibilang sebagai Anus, Jamaah Islam Nusantara dibilang sebagai JIN (setan), pengikut Gus Dur (Gusdurian) dibilang jus duren, bahkan ada juga yang bilang kalo NU itu PKI gaya baru. Gus Dur juga disebut sama Bibib sebagai orang yang buta mata buta hati.
Padahal dibanding mereka NU justru lebih menunjukkan Islam yang cinta damai, ahlakul karimah dan rahmatan lil alamin. Warga NU juga turut aktif menjaga gereja-gereja di saat malam Natal dari teror dan gangguan kaum radikal (bahkan ada anggota Banser yang tewas atau syahid terkena teror bom gereja tahun 2000) tapi oleh mereka justru disebut sebagai barisan pro kafir.
Jadi jika mereka bilang bahwa pemerintah sekarang adalah rezim anti Islam maka itu ibarat hanya omongan orang mabok atau orang ngelindur di siang hari aja, lha wong NU dan Muhammadiyah yang merupakan prosentase terbesar umat Islam Indonesia (sekitar 80-90%) aja woles-woles aja kok, malah cenderung dekat, mesra, sohib, kompak dan pro dengan pemerintahan. Pemerintah itu bukan rezim anti Islam tapi mungkin memang agak anti ama nyang namanya radikalisme ama terorisme.
Please deh.... jangan ke Ge-Er an gitu merasa sebagai umat Islam seluruh Endonesa. Pemerintah ga anti Islam, cuma anti ama Elo aja kaleeess........
Saya sendiri tidak pernah menganggap pemerintahan sekarang sebagai rezim anti Islam. Tapi kalo dibilang sebagai rezim anti korupsi mungkin boleh juga. Dibilang rezim anti mangkrak juga boleh. Dibilang rezim anti radikal juga bisa. Dibilang rezim anti terorisme oke juga. Dibilang rezim anti goblok juga boleh.....
Salam Waras
Beda pendapat boleh, goblok jangan........
0 Response to "Rezim Anti Goblok"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR