-->

Dalil Agama berdemokrasi


Faquha.com - “Indonesia sudah negara Islam.” Demikian pernyataan KH. Ali Mustofa Yaqub yang disampaikannya dalam rapat persiapan Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar NU pada 2012.
Menurut mantan Imam Besar Masjid Istiqlal yang baru saja wafat itu, negara islam setidaknya memiliki empat indikator: aspek ubudiyah (ritual), mu’amalah (perdagangan dan relasi sosial), munakahah (pernikahan dan keluarga), dan jinayah (pidana). Di Indonesia, hampir semua aspek tersebut sudah berjalan dengan mematuhi batasan-batasan Syariah. Hanya aspek jinayah yang tidak berlaku.

Namun hal itu tak membatalkan Indonesia sebagai negara Islam. Karena itu, bagi KH. Mustofa Yaqub, muslim Indonesia wajib patuh pada NKRI dan tidak dibenarkan melakukan pembangkangan. Pihak yang masih menganggap Indonesia belum menjalankan syariah sebaiknya angkat kaki dari tanah air (NU Online, 10/8/2012).

Dalam menilai keabsahan suatu negara, KH. Mustofa Yaqub tak terjebak pada label dan penampilan luar, tapi lebih menekankan substansi. Dasar NKRI, kita tahu, adalah Pancasila, bukan Islam. Namun di mata KH. Mustofa Yaqub, fakta bahwa hampir seluruh aspek syariah sudah berlaku di Indonesia kiranya cukup untuk menyebut negara Indonesia sebagai “sudah Islam.” Karena itu, beliau mewajibkan muslim Indonesia untuk taat terhadap NKRI.

Penegasan KH. Mustofa Yaqub tersebut menjadi relevan sekarang ini, di tengah maraknya kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir (HTI) yang menolak NKRI, yang mereka cap sebagai thoghut, dan mengkampanyekan khilafah. Tak pelak hal ini memicu pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya ketaatan maupun pembangkangan terhadap Negara Pancasila dilihat dari perspektif syariah.
Negara Kesepakatan

Seperti tercatat dalam sejarah, republik kita lahir sebagai hasil kesepakatan para pendirinya yang sadar betul akan watak Indonesia yang majemuk secara agama, etnis, dan sosial budaya. Pancasila dipilih sebagai dasar negara karena dengan cara itulah kebhinnekaan terjaga. Ikatan politik yang mendasarinya bukanlah sentimen primordial, melainkan kesatuan sebagai bangsa. Keanggotaan di negara kita tidak ditentukan oleh agama seperti pada masa pra modern, melainkan oleh kewarganegaraan yang setara.

Para tokoh islam yang ikut dalam kesepakatan tersebut sebagai wakil umat Islam juga menyatakan setuju dengan negara kebangsaan tersebut ketimbang mendesakkan berlakunya Piagam Jakarta yang memberi mandat kepada negara untuk mewajibkan penerapan syariah pada pemeluknya.
Dengan keputusannya itu, mereka selintas tampak tidak menerapkan syariah dalam bernegara. Padahal sejatinya mereka menerapkan syariah secara lebih substantif, yakni merealisasikan kemaslahatan bersama yang nota bene merupakan tujuan syariah. Para tokoh islam tersebut meyadari, tuntutan menegakkan negara islam dalam konteks Indonesia yang majemuk akan berujung pada perpecahan bangsa dan sektarianisme politiik yang justru bertentangan dengan prinsip maslahat.
Kesepakatan bersama yang mendasari Negara Pancasila termanifestasi dalam konstitusi RI. Konstitusi merupakan dokumen kontrak sosial yang mengikat semua pihak yang terlibat, langsung ataupun tidak langsung. Artinya, kontrak sosial tersebut juga mengikat warga negara yang lahir belakangan.

Mengapa? Karena begitu seseorang menjadi warga negara dan memanfaatkan fasilitas dan infrastruktur negara, membayar pajak, menggunakan sertifikat tanah, akte kelahiran, KTP, SIM, surat nikah, paspor dan dokumen-dokumen negara lainnya, maka sesungguhnya itu mengekspresikan persetujuannya terhadap negara dan kesepakatan yang mendasarinya. Dalam nomenklatur ilmu politik, persetujuan yang tak dinyatakan secara eksplisit ini dikenal dengan istilah "tacit consent."
Jadi, meskipun warga negara yang hidup pada masa sekarang tidak ikut merumuskan konstitusi, ia tetap harus loyal terhadapnya. Kewarganegaraan adalah penanda bagi persetujuan untuk terikat dengan kontrak sosial yang termaktub dalam konstitusi. Tentu saja kesepakatan bisa diubah, konstitusi bisa diamandemen, ditambah, atau dikurangi sesuai dengan kalkulasi kemaslahatan hidup yang dinamis. Namun selama itu belum terjadi, maka warga negara harus menaati konstitusi yang ada.

Wajib Penuhi Kesepakatan
Bagi mereka yang muslim, kewajiban menaati konstitusi tersebut tidak semata-mata karena statusnya sebagai warga negara, melainkan juga atas dasar ajaran agamanya. Dalam pandangan Islam, menaati kesepakatan sama artinya dengan memenuhi janji yang wajib sifatnya Pengingkaran sepihak terhadap kesepakatan adalah perbuatan yang sangat tercela.

Al-Qur’an dengan tegas mewajibkan umatnya untuk menaati kesepakatan yang mereka buat, seperti dalam ayat “Penuhilah perjanjian kalian; sesungguhnya janji itu akan dituntut pertanggungjawabannya” (QS 17:34). Ayat yang senada bisa kita temukan pada QS 5:1, 2: 177, 16: 91, dan 13: 19.

Di samping itu, Nabi Muhammad juga bersabda, “umat Islam terikat dengan perjanjian yang mereka buat.” Dan tatkala terlibat dalam kesepakatan, Nabi dengan teguh menaatinya dan menindak tegas para pelanggar.

Misalnya, keterlibatan Rasul pada masa pra kenabian dalam Hilful Fudhul yakni ikrar aliansi antar sejumlah kepala suku Quraisy untuk menegakkan keadilan dan melindungi yang lemah dari kesewenangan. Meski Hilful Fudul terjadi pada masa pra Islam, Nabi tetap mengingatnya sebagai sebuah keutamaan. Kata Nabi:"Aku turut serta sebagai saksi dalam ikrar (hilful fudhul) di rumah Abdullah bin Jud'am. Betapa senang hatiku menyaksikannya. Seandainya sekarang aku diajak mengadakan ikrar seperti itu lagi, pasti aku sambut dengan baik.”

Ikrar kebangsaan kita kiranya bisa dianalogikan dengan Hilful Fudul. Nasionalisme Indonesia adalah pakta yang bersifat lintas suku dan agama yang bertujuan bukan hanya mengusir penjajah, melainkan juga mencapai kebaikan bersama, seperti memajukan kesejahteraan umum dan mencerdakan bangsa. Dengan kata lain, kebangsaan kita adalah ikrar keutamaan, semacam Hilful Fudul kekinian. Kalau Hilful Fudul oleh kaum kafir Quraisy saja dipuji oleh Nabi, apalagi Hilful Fudul Indonesia, yang melibatkan kaum muslim.
Contoh lain adalah ketika Nabi membangun tatanan politik dan sosial di Madinah yang dirumuskan dalam Piagam Madinah. Di sini Nabi tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusinya. Yang dipakai justru hasil kesepakatan dan negosiasi semua komponen masyarakat Madinah yang terdiri dari berbagai pemeluk agama. Ini wajar, karena konstitusi pada prinsipnya adalah aturan main perihal bernegara. Dan aturan main yang fair dan adil mesti bertolak dari kesepakatan para pesertanya dan menampung keragamannya.

Dalam Konstitusi Madinah, misalnya, terdapat pasal yang menegaskan bahwa kaum muslim dan Yahudi merupakan satu umat. Juga ada pasal tentang perlindungan terhadap kebebasan menjalankan keyakinan agama masing-masing.

Nabi begitu kukuh memegang kesepakatan yang tertuang dalam Konstitusi Madinah dan dengan tegas memberi sanksi pada para pelanggarnya, apapun agamanya. Ketika suku Qutaibah yang muslim melanggar Konstitusi Madinah, Nabi tak segan menghukum mereka. Begitu juga terhadap beberapa kabilah Yahudi mengkhianati Konstitusi Madinah dengan perbuatan makar yang merongrong tatanan Madinah. Nabi pun mengusir mereka. Penting untuk dicatat, pengusiran kaum Yahudi dari Madinah sama sekali bukan karena keyakinan agama mereka, tapi karena pengkhianatan mereka terhadap konstitusi negaranya.

Walhasil, ketaatan terhadap konstitusi hukumnya wajib secara syar’I, karena itu sama artinya dengan memenuhi kesepakatan, yang diwajibkan dalam Islam. Mempertentangakan antara ketaatan terhadap konstitusi dan ketaatan terhadap Kitab Allah adalah pandangan yang salah alamat, karena menaati konstitusi merupakan manifestasi dari menaati Kitab Allah.

Ini berarti, kalangan muslim Indonesia yang mengkampanyekan khilafah atau negara Islam sejatinya telah melakukan pengingkaran sepihak terhadap kesepakatan bersama. Mereka mengkampanyekan penegakan syariah, tapi yang mereka lakukan justru melanggar syariah. Kalau mau konsisten, mestinya mereka melepaskan kewarganegaraannya. Atau, memakai bahasa KH. Mustofa Yaqub, silakan mereka angkat kaki dari Indonesia.

oleh Ahmad Sahal

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Dalil Agama berdemokrasi "

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel