Muktamar Khilafah HTI, Penyimpangannya, dan NKRI
April 24, 2017
Add Comment
FAQUHA.com – Penulis adalah Disertasi tentang
Khilafah Hizbut Tahrir, Dosen Politik Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, pembina
Pagar Nusa Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, sumber: NU Online
Sejak awal Mei 2013 Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melakukan
roadshow sekaligus show of force dalam bentuk muktamar khilafah (MK) di
beberapa kota di Indonesia. Puncak Muktamar khilafah diadakan di Gelora Bung
Karno pada 2 Juni 2013.
Muktamar ini berupaya
menggiring orang muslim dengan satu destinasi final, mempercayai nalar khilafah
HTI dan ikut memperjuangkan penegakannya, dan kalau bisa tentu Indonesia
sebagai pusat khilafah. Sehingga hampir setiap hari, terutama lewat media
internet maupun sms (short message service), para aktifisnya menawari
orang-orang yang komitmen kepada syari’ah
untuk mengikuti acara tersebut.
Anehnya, terkadang cara yang digunakan untuk menggiring
peserta ke arena muktamar tidak simpatik. Saya mendapat sms dari teman NU di
Nganjuk, “Ranting Muslimat Rejoso termasuk pengurusnya, 4 bis, diajak pengajian
ke Surabaya, bis gratis. Iuran 20 ribu makan 2 kali. Ternyata pengajian HTI.”
Belum lagi pasang spanduk yang mengatasnamakan Pagar Nusa
atau yang lain. Atau juga kabar angin
yang sering dihembuskan, termasuk ke saya bahwa ulama atau kiai NU yang
mempunyai ribuan jama’ah siap menghadiri acara MK. Tapi ketika saya tanya siapa
dia, jawabnya enteng, itu rahasia.
Terkadang cara yang tidak elegan ini mampu menarik massa
untuk terlibat dalam muktamar khilafah. Seperti sms yang saya terima dari
seorang mahasiswa lugu di Jember , “Karena yang saya lihat kemarin itu
(muktamar khilafah di Surabaya pen.) perjuangan HT bukan untuk kelompoknya.
Bisa dilihat dari tema muktamarnya, “Muktamar Khilafah”. Berbeda dengan yang
saya tahu selama ini, NU, muktamar NU; MD, muktamar MD. Tapi HTI kok
beda?”
Atas itu semua, mari kita jernihkan tentang realitas
historis khilafah. Tidak ketinggalan tentang posisi Negara kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Antara Realitas Historis dan Idealitas
Khilafah adalah sebuah sistem pemerintahan yang pernah
dijalankan umat Islam. Dalam kronika historis, khilafah telah mengalami proses
yang sangat historis, dan tentu rentan kritik.
Namun perkembangan yang terjadi, khilafah menjadi icon,
nomenklatur, bahkan sebuah ideologi. Khilafah menjadi suci, sakral, dan sangat
ideologis yang tidak boleh ada saingan, bahkan menafikan dan underestimate
terhadap sistem politik lain.
Andaikata para aktivis Hizbut Tahrir menyebut khilafah
sebagai manusiawi yang bisa salah, statemen itu justeru untuk memperteguh
eksistensi khilafah. Baginya, khilafah tidak akan pernah salah, yang salah
adalah elit pemegangnya. Karena bagi Hizbut Tahrir, khilafah adalah paket dari
Nabi.
Padahal penelitian saya dari kitab-kitab Hizbut Tahrir,
sistem politik yang merupakan paket dari Nabi ini ternyata telah mengalami
perubahan dan perbedaan antara karya pendiri Hizbut Tahrir dengan pemimpin yang
sekarang ini. Justru yang disayangkan, tidak ada perubahan terhadap konsep yang
menjadi titik lemah, seperti model pemimpin seumur hidup, tiada separation of
power, khalifah sangat powerful karena memegang
legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Lain dari itu,
realitas historis khilafah berbicara secara gamblang terhadap sisi negatifnya
–di samping positifnya-, sebagaimana pada sistem-sistem politik yang lain.
Kebaikan, kemajuan, perkembangan sains dan peradaban Islam pada masa
kekhilafahan dan kerajaan, ataupun kesultanan Islam begitu melimpah dapat
dibaca di dalam buku-buku sejarah Islam.
Biasanya nilai-nilai kebaikan inilah yang selalu
diinternalisasikan Hizbut Tahrir kepada para pengikutnya. Akhirnya para
pengikutnya menjadi rabun terhadap kelemahan yang pernah terjadi pada masa
khilafah tersebut.
Sebagai penyeimbang, sisi negatif pada masa khilafah dapat
dilihat dalam ketatanegaraan. Hampir seluruh era khilafah dan kerajaan muslim
terjadi apa yang disebut dengan proses pergantian pemimpin lewat putra
mahkota.
Dalam soal hak asasi dan hukum perang pernah terjadi
penyelewengan. Sebagaimana dicatat oleh Nadirsyah Hosen Pengajar di Fakultas
Hukum University of Wollongong Australia, terjadi pemberontakan di kota Musil
melawan pemimpin Khilafah Abbasiyah, as-Saffah. Panglima perang as-Saffah
mengumumkan di kalangan rakyat bahwa siapa yang memasuki masjid Jami', dijamin keamanannya. Ribuan orang
berduyun-duyun memasuki masjid, kemudian dihabisi nyawanya. Sebanyak sebelas ribu orang
meninggal pada peristiwa itu.
Sebagai tambahan, cukuplah penjelasan al-Maududi dalam
bukunya Al-Khilafah wal Mulk bahwa
setelah masa 30 tahun setelah Nabi wafat, muncul kerajaan yang memaksa. Ciri
dari kerajaan ini adalah pengangkatan putra mahkota, perubahan gaya hidup,
keuangan negara menjadi milik raja, terpasungnya berpendapat, peradilan tidak
bebas, hukum tidak menjadi panglima, dan munculnya kefanatikan.
NKRI
Harus diakui dalam lintas sejarah umat Islam dan pemikiran
politiknya, banyak sistem ketatanegaraan yang berkembang. Seperti khilafah,
imamah, kerajaan, keamiran, kesultanan, wilayatul faqih (model Syi’ah), maupun
NKRI.
Dengan demikian, khilafah bukan satu-satunya sistem politik
yang diintrodusir ulama Islam. Bisa disebut
al-Farabi, Ibnu Abi Rabi, Al-Ghazali, Nashiruddin Al-Thusi, Ibnu Sina,
Ibn Khaldun, hingga Ibn Taymiyyah hampir semuanya sepakat tentang realitas
manusia sebagai social creature yang pasti akhirnya membutuhkan negara. Namun
mereka tidak merekomendasikan khilafah sebagai satu-satunya sistem Islam. Bahkan
dalam buku Suluk al-Malik fi Tadbir al-Mamalik
karya Ibn Abi Rabi’ yang hidup
pada masa Abbasiyah, dijelaskan bahwa
sistem ketataneggaraan terbaik adalah kerajaan.
Terlebih lagi dapat dipastikan bahwa khilafah sebagai
kesatuan sistem sebagaimana yang digambarkan Hizbut Tahrir, pasti hanya
satu-satunya milik Hizbut Tahrir. Model struktur khilafah Hizbut Tahrir tidak
pernah digambarkan dan dijabarkan oleh ulama-ulama Sunni maupun Syi'ah sejak
zaman dahulu.
Untuk alasan di atas, NKRI juga harus diapresiasi
kehadirannya. NKRI merupakan produk ulama Indonesia yang absah. Buktinya KH.
Hasyim Asy’ari pernah mengeluarkan resolusi jihad. Demikian juga KH. Wahab
Hasbullah dan KH. Wahid Hasyim yang turut berkiprah di dalam NKRI. Demikian
pula tokoh Muhammadiyah seperti ki Bagus Hadikusumo juga menerima NKRI.
Maka NKRI kalau ditarik dalam konteks ushul fiqih, sudah
merupakan ijma’ ulama Indonesia, tentu sungguh tidak elok bila mau diganti
dengan khilafah. Energi kita nanti akan habis untuk hal tersebut. Kita tidak
mau mengulang lagi sejarah piagam Jakarta hingga Dekrit Presiden tahun 1959,
dan mereproduksi kembali DI/TII.
Akan sangat bijaksana bila umat Islam semua rakyat Indonesia
dengan ragam pemikiran dan keyakinannya untuk mengisi NKRI dengan nilai-nilai
yang mereka idealkan, bukan malah mendekonstruksi. Cara dekonstruksi selain
tidak benar, juga political cost yang harus dikeluarkan sangat mahal, outputnya
hanya friksi-friksi tajam yang kontra-produktif dan destruktif.
*
0 Response to "Muktamar Khilafah HTI, Penyimpangannya, dan NKRI"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR