-->

Meluruskan Syubhat Wahabi Tentang Makna Jamaah

Faquha.site - Dalam beberapa tulisan saya, antara lain tulisan kemarin, telah dijelaskan bahwa di antara tanda-tanda Ahlussunnah Wal-Jamaah adalah jumlah anggotanya yang merupakan mayoritas umat Islam sesuai dengan makna dari kalimat al-jama’ah. Hal tersebut didasarkan pada dua argumen;

Pertama, secara kebahasaan jamaah atau jama’ memang bermakna banyak. Seseorang kalau sendirian, tidak dikatakan banyak atau berjamaah. Dalam kitab-kitab Kamus Bahasa Arab dijelaskan bahwa makna jamaah secara bahasa adalah sekumpulan apa saja dan jumlahnya banyak (‘adadu kulli syay’in wa katsratuhu). (Lihat: Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, juz 8, hal. 53; dan al-Zabidi, Taj al-‘Arus min Jawahir al-Qamus, juz 1, hal. 5167.).

Kedua, dalil-dalil hadits yang menjelaskan bahwa golongan yang selamat adalah al-sawad al-a’zham, yaitu mayoriyas umat Islam. Hadits-hadits ini tidak dapat dijawab dan dibantah oleh kaum Wahabi. Alhamdulillah, Allah membuktikan kebenaran Ahlussunnah Wal-Jamaah dengan dalil-dalil yang kuat dan tidak terbantahkan.

Akan tetapi, sebagian ustadz Wahabi untuk membenarkan ajarannya yang menyimpang dan tidak sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, selalu mencari-cari syubhat untuk menolak dan mengingkari hadits-hadits shahih. Di antara syubhat yang dijadikan sandaran oleh kaum Wahabi adalah atsar dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu yang berupa:

Amr bin Maimun berkata: “Mu’adz bin Jabal datang kepada kami pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu hatiku mencintainya. Maka aku tidak pernah meninggalkannya hingga aku memakamkannya di Syam. Kemudian, aku tidak pernah meninggalkan seorang yang paling faqih sesudahnya, yaitu Abdullah bin Mas’ud. Pada suatu hari diceritakan kepada beliau tentang penundaan shalat dari waktunya (yang dilakukan oleh para penguasa). Maka beliau berkata: “Shalatlah kalian di rumah kalian dan jadikan shalat kalian bersama mereka sebagai shalat sunnah.” Amr bin Maimun berkata: “Lalu Abdullah bin Mas’ud ditanya: “Bagaimana dengan shalat berjamaah kami?” Ia berkata kepadaku: “Wahai Amr bin Maimun, sesungguhnya mayoritas jamaah yang meninggalkan jamaah. Jamaah itu hanyalah sesuatu yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah meskipun kamu seorang diri.”

Atsar ini diriwayatkan oleh al-Thabarani dalam Musnad al-Syamiyyin (juz 1 hlm 138 [220]), al-Lalaka’iy dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah (juz 1 hlm 82 [160]) dan al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal (juz 22 hlm 264).

Menurut kaum Wahabi, dalam atsar di atas, Abdullah bin Mas’ud menjelaskan bahwa Jama’ah itu golongan yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah meskipun seorang diri. Karena itu meskipun Wahabi jumlahnya minoritas, masih bisa masuk Ahlussunnah Wal-Jamaah selama ajarannya sesuai dengan kebenaran.

Ada beberapa catatan menyangkut atsar di atas:

Pertama, atsar tersebut sanadnya dha’if. Dalam sanad al-Lalaka’iy terdapat perawi Hammad bin Nu’aim al-Khuza’iy, seorang perawi jujur tetapi banyak melakukan kekeliruan. Sedangkan dalam sanad al-Thabarani terdapat perawi yang majhul (tidak diketahui kredibiltasnya) dan perawi Ibnu Tsauban yang mengandung kelemahan. Demikian kesimpulan dari takhrij Ustadz Wahabi sendiri dalam terbitan Dar al-Hadits, Mesir.

Kedua, seandainya atsar tersebut shahih atau hasan, atsar tersebut tidak dapat dijadikan pembenaran terhadap kelompok Wahabi yang minoritas karena beberapa alasan:

a) Atsar tersebut konteksnya masalah furu’iyah amaliyah yang berkaitan dengan shalat berjamaah, bukan masalah akidah. Sebagaimana dimaklumi dalam kitab-kitab akidah, perbedaan aliran-aliran dalam Islam itu konteksnya masalah ushuliyah, bukan masalah furu’iyah.

b) Jika diamati dengan teliti, makna jamaah dalam atsar tersebut mengarah pada pahala shalat berjamaah di awal waktu. Dalam atsar tersebut dijelaskan bahwa para penguasa yang merupakan imam shalat berjamaah pada masa-masa itu selalu mengakhirkan shalat dari awal waktu, dan hal itu kemudian diikuti oleh jamaahnya. Oleh karena itu, Sayyidina Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu menjelaskan, bahwa orang yang mengerjakan shalat di awal waktu di rumahnya tidak dianggap keluar meninggalkan pahala berjamaah, bahkan sesuai dengan jamaah atau mendapatkan pahala shalat berjamaah. Mengapa? Mengerjakan shalat di awal waktu itu hukumnya sunnah dan sangat dianjurkan, sedangkan shalat berjamaah itu hukumnya sunnah. Mengakhirkan shalat sampai ke akhir waktu hukumnya tidak boleh. Sedangkan orang tersebut tidak mengerjakan shalat berjamaah pada awal waktu, karena ada alasan yang dapat diterima (uzur syar’iy).

c) Sekarang kita mengalah kepada kaum Wahabi, bahwa makna jamaah dalam atsar tersebut adalah Ahlussunnah Wal-Jamaah. Tetapi di sini yang perlu menjadi catatan, dala atsar di atas orang tersebut dianggap mengikuti Ahlussunnah Wal-Jamaah, karena apa yang dia pegang sesuai dengan kebenaran yang dilakukan oleh umat Islam sebelumnya. Pertanyaannya adalah, apakah pendapat-pendapat Wahabi yang berbeda dengan mayoritas umat Islam sudah sesuai dengan kebenaran umat Islam sebelumnya? Atau justru pendapat baru tetapi dipaksakan sebagai kebenaran meskipun berbeda dengan mayoritas umat Islam sebelumnya? Pertanyaan ini menjadi PR bagi kaum Wahabi yang tidak akan terjawab. Wallahu a'lam.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Meluruskan Syubhat Wahabi Tentang Makna Jamaah"

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel