Tafsir al-Mumtahanah: larangan ber-"muwalatul kuffar"
March 1, 2017
Add Comment
FAQUHA-com - Saat
membahas tafsir kata awliya dalam QS al-Maidah:51 dan al-Nisa:139-144 saya
sampaikan bahwa larangan menjadikan orang kafir sebagai awliya itu 'illatnya
(alasan hukumnya) karena berkhianat kepada kaum muslimin. Selain mengambil dari
asbabun nuzul turunnya ayat, juga ada petunjuk dalam ayat-ayat di atas frase
"min dunil mu'minin" (dengan meninggalkan kaum beriman). Dengan kata
lain orang kafir itu saling ber-awliya (tolong menolong, melindungi dan
beraliansi) sesama mereka, kok ada orang Islam yang dalam suasana peperangan
(konteks asbabun nuzul ayat) malah berkhianat meninggalkan kaum beriman dengan
bersekutu/beraliansi/berteman setia dengan orang kafir.
Jadi konteks
ayat QS al-Maidah:51 dan al-Nisa:139-144 tidak berkenaan dengan mengangkat
orang kafir sebagai pemimpin. Tidak ada ulama tafsir yang mengatakan demikian.
Penafsiran para ulama klasik dan modern di atas sesuai dengan pamungkas ayat
mengenai "muwalatul kuffar" yaitu ayat pertama surat al-Mumtahanah.
Inilah ayat yang secara tegas mengungkapkan alasan mengapa ber-muwalatul kuffar
itu dilarang karena alasan berkhianat. Ayat ini turun berkenaan dengan Hatib
bin Abi Balta'ah yang membocorkan rencana Nabi menyerang kota Mekkah. Hatib
mengirim surat rahasia kepada karib kerabatnya di Mekkah. Maka turun ayat
awliya ini yang berisi soal pengkhianatan; bukan tentang kepemimpinan.
Muwalatul
kuffar itu artinya menyampaikan loyalitas dan kasih sayang kepada orang kafir.
Sekarang kita belajar korelasi (munasabah) ayat. Mari kita simak QS
al-Mumtahanah ayat 1:
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu menjadi
AWLIYA (teman-teman setia) yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita
Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar
kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir)
kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar benar keluar
untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat
demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada
mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu
sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barang siapa di antara kamu yang
melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus."
Ayat di atas
menggunakan kata AWLIYA, dan tidak ada terjemah maupun kitab tafsir yang
memberi makna Awliya pada ayat di atas sebagai pemimpin. Padahal makna ayat di
atas senada dan seirama dengan QS al-Maidah: 51 dan al-Nisa:139-144. Semua
terangkai dengan pas: larangan menjadikan orang kafir sebagai awliya karena
berkhianat meninggalkan kaum Mu'minin dalam suasana peperangan.
Misalnya
dalam menafsirkan kata awliya pada QS al-Nisa: 144 Ibn Katsir menulis dalam
kitab tafsirnya: "Yang dimaksud dengan istilah "awliya" dalam
ayat ini ialah berteman akrab dengan mereka, setia, tulus dan merahasiakan
kecintaan serta membuka rahasia orang-orang mukmin kepada mereka." Kalau
kita baca QS al-Mumtahanah ayat 1 di atas nyambung sekali dengan penjelasan Ibn
Katsir. Itulah sebabnya Ibn Katsir menyebutkan saat membahas al-Mumtahanah ayat
1 sejumlah ayat-ayat lain yang maknanya:
فَقَوْلُهُ
تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ
أَوْلِياءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِما جاءَكُمْ
مِنَ الْحَقِّ يَعْنِي الْمُشْرِكِينَ وَالْكُفَّارَ الَّذِينَ هُمْ مُحَارِبُونَ
لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ شَرَعَ اللَّهُ عَدَاوَتَهُمْ
وَمُصَارَمَتَهُمْ وَنَهَى أَنْ يُتَّخَذُوا أَوْلِيَاءَ وَأَصْدِقَاءَ
وَأَخِلَّاءَ كَمَا قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصارى أَوْلِياءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِياءُ بَعْضٍ
وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ [الْمَائِدَةِ: ٥١] وَهَذَا
تَهْدِيدٌ شَدِيدٌ وَوَعِيدٌ أَكِيدٌ وَقَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُواً وَلَعِباً مِنَ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِياءَ وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ [الْمَائِدَةِ: ٥٧] وَقَالَ تَعَالَى: يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكافِرِينَ أَوْلِياءَ مِنْ دُونِ
الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطاناً
مُبِيناً؟ [النِّسَاءِ: ١٤٤] وَقَالَ تَعَالَى:
لَا
يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكافِرِينَ أَوْلِياءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
وَمَنْ يَفْعَلْ ذلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا
مِنْهُمْ تُقاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ [آلِ عِمْرَانَ: ٢٨]
"Firman
Allah: 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan
musuhmu menjadi AWLIYA (teman-teman setia) yang kamu sampaikan kepada mereka
(berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka
telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu'. (Al-Mumtahanah: 1).
Yakni kaum
musyrik dan orang-orang kafir yang selalu memerangi Allah dan Rasul-Nya serta
orang-orang mukmin. Allah memerintahkan agar mereka dimusuhi dan diperangi.
Allah telah melarang mengambil mereka menjadi Awliya, teman, dan kekasih. Hal
ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain,
yaitu al-Maidah:51, al-Maidah:57, al-Nisa:144 dan Ali Imran:28.
Itu artinya
menurut Ibn Katsir semua rangkaian mengenai larangan mengambil orang kafir
sebagai awliya dalam ayat-ayat di atas maknanya sama: konteksnya dalam suasana
peperangan dan menjadikan mereka sebagai teman setia/sekutu sehingga berpotensi
berkhianat kepada umat Islam.
Ayat
al-Qur'an itu saling menafsirkan satu sama lain. Terjemah yang beredar mengenai
ayat-ayat di atas di medsos yang mengambil arti awliya sebagai pemimpin jelas
bermasalah dan tidak bisa dijadikan rujukan. Pandangan mereka telah dibantah
total oleh Ibn Katsir yang merangkum makna awliya dalam ayat-ayat tersebut.
Tafsir al-Munir juga konsisten mengartikan awliya pada ayat di atas sebagai:
penolong, teman dekat dan pembantu. Kalau maknanya sebagai pemimpin, apa
susahnya sih para ulama tafsir menuliskannya sebagai pemimpin? Akan tetapi
mereka paham dan yakin bahwa bukan itu yang dimaksud oleh al-Qur'an.
Alasan
penolakan untuk berkasih sayang dan memberikan loyalitas kepada orang kafir
(muwalatul kuffar) itu dengan alasan berkhianat, maka logika
"apalagi" menjadi berantakan di sini. Mereka yang terkejut dengan
fakta bahwa tidak ada kitab tafsir yang mengatakan awliya artinya pemimpin maka
mereka ngeles. Kata mereka 'Menjadikan mereka sebagai teman setia saja tidak
boleh, apalagi sebagai pemimpin". Ini logika ngawur karena tidak memahami
'illat larangan di atas. Logika yang sahih itu: Boleh mengangkat non-Muslim
sebagai Gubernur atau Menteri atau Panglima TNI atau jabatan lainnya selama
mereka tidak berkhianat dengan meninggalkan umat Islam.
Itulah
sebabnya dalam al-Mumtahanah ayat 8-9 dikatakan:
"Allah
tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah
hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu
karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim."
Dan
lagi-lagi Ibn Katsir mengaitkan kata kawan pada QS al-Mumtahanah ayat 9 dengan
kata awliya dalam QS al-Maidah:51. Ini perkara yang terang benderang. Kalau
larangan muwalatul kuffar itu semata-mata karena kekafirannya, maka bunyi ayat
8-9 surat al-Mumtahanah akan berbeda. Ternyata yang jadi persoalan bukan soal
kekafirannya, tapi lebih pada tindakan mereka. Islam itu mengajarkan kebaikan
dan keadilan meski terhadap orang kafir sekalipun, jikalau mereka pun berbuat
adil dan baik kepada kita.
Maka saya
mengajak marilah para Kiai, Ulama dan da'i serta Ustadz untuk jujur dalam
keilmuan kita. Ayat-ayat di atas tidak terkait dengan pilkada, jangan kemudian
ditarik-tarik masuk ke politik praktis. Jangan kebencian kalian pada sosok
tertentu atau etnik dan agama tertentu membuat kita keluar dari kaidah
penafsiran ataupun menafikan puluhan kitab tafsir klasik dan modern yang diakui
otoritasnya selama ini dalam dunia Islam. Kita semua akan bertanggung jawab
wahai para masyayikh akan apa yang kita sampaikan kepada umat, jikalau yang
kita sampaikan jauh dari kebenaran dan hanya semata-mata berdasarkan
kepentingan politik atau kebencian terhadap satu golongan. Mari sama-sama kita
jaga kesucian ayat al-Qur'an dari kekotoran hati dan pikiran kita. Semoga Allah
terus menunjuki kita kepada jalan yang lurus. Amin Ya Allah
Tabik,
Nadirsyah
Hosen
Rais Syuriah
PCI Nahdlatul Ulama Australia - New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School
0 Response to "Tafsir al-Mumtahanah: larangan ber-"muwalatul kuffar""
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR