Negara Korup versi filosof
March 24, 2017
Add Comment
NEGARA KORUP MENURUT AL-FARABI
Abu Nashr al-Farabi (w. 950 M.) membagi Negara (al-madinah) ke dalam dua bagian besar: Negara Utama (al-Madīnah al-Fādhilah) dan negara bukan-utama (Ghayr al-Fādhilah), yang berbeda tingkatannya.
Di antara negara yang bukan utama adalah: negara bodoh (al-madnah al-Jhilah) dan negara fasik (al-Madinah al-Fsiqah). Negara yang bodoh (al-madīnah al-Jhilah) adalah seuah negara yang rakyat dan pemimpinnya tidak tahu apa itu Kebenaran dan Kebahagiaan sejati, sehingga pemerintahannya berjalan berdasarkan pada kebodohannya itu. Pemimpinnya tidak dapat membedakan mana "fatamorgana" dan mana yang "oase" sungguhan, sehingga rakyatnya digiring pada arah fatamorgana, yang dalam pandangannya lebih melimpah daripada air oase atau wadi.
Misalnya, ada yang menganggap bahwa kekuasaan dan kedudukan tinggi itulah yang akan membawa kita kepada kebahagiaan dan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkannya. Ada juga yang beranggapan kekayaanlah yang akan membawanya ke sana, atau justru kehormatan dan pujianlah yang akan memberi mereka kepada kebahagiaan, dan lainnya.
Sedangkan negara bukan-utama lainnya adalah negara fasik (rusak atau korup), yaitu sebuah negara yang rakyat dan pemimpinnya sebenarnya tahu kebenaran dan tahu jalan mencapai kebahagiaan sejati, tetapi dalam praktek sehari-harinya justru tidak mengikuti jalan kebenaran. Mereka malah mengikuti cara orang-orang di negara yang bodoh. Banyak peraturan dan undang-undang yang bagus dihasilkan, tetapi dalam perakteknya banyak yang dilanggar sehingga terjadi banyak kekacauan dan kerusakan (korupsi). Hanya negara yang utamalah menurut al-Farabi yang akan membawa kebahagiaan yang sejati, yaitu negara yang pemimpinya tahu kebenaran dan jalan untuk meraih kebahagiaan sejati, dan menjalankan roda pemerintahannya sesuai dengan dan berdasarkan pada Kebenaran tersebut.
Penguasa berkewajiban untuk mempelajari ilmu pengetahuan (teoritis maupun praktis) sehingga menguasai dan mepraktekkannya, serta berkewajiban mengajarkan kebenaran tersebut kepada rakyatnya dengan metode yang sesuai dengan kemampuan dan daya tangkap mereka.
Maka kata Ibn Sina, ia harus menguasai metode demonstratif, dialektik, bahkan juga metode retorik-persuasif, layaknya seorang filsuf. Semoga bermanfaat.
Facebook: Mulyadhi Kartanegara
Abu Nashr al-Farabi (w. 950 M.) membagi Negara (al-madinah) ke dalam dua bagian besar: Negara Utama (al-Madīnah al-Fādhilah) dan negara bukan-utama (Ghayr al-Fādhilah), yang berbeda tingkatannya.
Di antara negara yang bukan utama adalah: negara bodoh (al-madnah al-Jhilah) dan negara fasik (al-Madinah al-Fsiqah). Negara yang bodoh (al-madīnah al-Jhilah) adalah seuah negara yang rakyat dan pemimpinnya tidak tahu apa itu Kebenaran dan Kebahagiaan sejati, sehingga pemerintahannya berjalan berdasarkan pada kebodohannya itu. Pemimpinnya tidak dapat membedakan mana "fatamorgana" dan mana yang "oase" sungguhan, sehingga rakyatnya digiring pada arah fatamorgana, yang dalam pandangannya lebih melimpah daripada air oase atau wadi.
Misalnya, ada yang menganggap bahwa kekuasaan dan kedudukan tinggi itulah yang akan membawa kita kepada kebahagiaan dan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkannya. Ada juga yang beranggapan kekayaanlah yang akan membawanya ke sana, atau justru kehormatan dan pujianlah yang akan memberi mereka kepada kebahagiaan, dan lainnya.
Sedangkan negara bukan-utama lainnya adalah negara fasik (rusak atau korup), yaitu sebuah negara yang rakyat dan pemimpinnya sebenarnya tahu kebenaran dan tahu jalan mencapai kebahagiaan sejati, tetapi dalam praktek sehari-harinya justru tidak mengikuti jalan kebenaran. Mereka malah mengikuti cara orang-orang di negara yang bodoh. Banyak peraturan dan undang-undang yang bagus dihasilkan, tetapi dalam perakteknya banyak yang dilanggar sehingga terjadi banyak kekacauan dan kerusakan (korupsi). Hanya negara yang utamalah menurut al-Farabi yang akan membawa kebahagiaan yang sejati, yaitu negara yang pemimpinya tahu kebenaran dan jalan untuk meraih kebahagiaan sejati, dan menjalankan roda pemerintahannya sesuai dengan dan berdasarkan pada Kebenaran tersebut.
Penguasa berkewajiban untuk mempelajari ilmu pengetahuan (teoritis maupun praktis) sehingga menguasai dan mepraktekkannya, serta berkewajiban mengajarkan kebenaran tersebut kepada rakyatnya dengan metode yang sesuai dengan kemampuan dan daya tangkap mereka.
Maka kata Ibn Sina, ia harus menguasai metode demonstratif, dialektik, bahkan juga metode retorik-persuasif, layaknya seorang filsuf. Semoga bermanfaat.
Facebook: Mulyadhi Kartanegara
0 Response to "Negara Korup versi filosof"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR