-->

Mengenang Wilfred Cantwell Smith soal “Iman” (faith) dan “Agama” (Religion)

FAQUHA.com - Dalam jagad Religious Studies dan Islamic Studies hormat saya tak pernah memudar kepada Profesor Wilfred Cantwell Smith (meninggal tahun 2000 pada usia 83, di kota kelahirannya, Toronto-Kanada). Pada masanya, ia bolehlah dibilang sebagai salah satu “nabi” Studi Agama; mungkin bersama-sama dengan Mircea Eliade? Pada tahun-tahun 1950-an hingga 1980an, ia mendirikan (sekaligus mengembangkan) institute of Islamic Studies di universitas McGill-Kanada, dan Center for the Study of World Religions di universitas Harvard. Pak Mukti Ali dan Pak Harun (Nasution) pernah menjadi murid langsung pak Smith di McGill. Pak Mukti Ali kemudian jadi menteri agama. Pak Harun namanya diabadikan di UIN Jakarta. Pak Rasyidi juga menjadi lawan diskusi pak Smith saat pak Rasyidi jadi dosen tamu di McGill. Pak Rasyidi juga lebih dulu jadi menteri agama sebelum Mukti Ali. Institute of Islamic Studies McGill ini pernah menjalin kerjasama dengan Departemen Agama RI (CIDA) selama lebih dari 20 tahun. Sudah ratusan master dan Doktor dosen-dosen IAIN, STAIN dan UIN yang lahir dari McGill ini. Tentu saja jasa pak Smith mendirikan institute studi Islam itu tak bisa dilupakan. Soal keseriusan pak Smith, sebutlah tiga karyanya: (1) The Meaning and End of Religion [1962] (yang kemudian diterjemahkan Mizan menjadi Memburu Makna Agama, 2004), (2) What is Scripture? [1993] (yang kemudian diterjemahkan Mizan menjadi Kitab Suci Agama-Agama, 2005), dan (3) Towards A World Theology, Faith and the Comparative History of  Religion (1981), orang mungkin langsung mengernyitkan keningnya: betapa seriusnya pak Smith ini. The Meaning and End of Religion mungkin sudah usang karena terbit pertama kali tahun 1962. Tapi salah satu tema pokok yang dibahas Smith masih sangat relevan dengan konteks kini: soal penggunaan kata iman, Islam dan Kristen. Smith menelusuri karya-karya kesarjanaan Islam mulai dari masa tabi’in hingga masa modern. Hasilnya? Pada masa Nabi dan sahabat, kata “iman” disebut-sebut sampai 85,1%, kata “Islam” hanya 14,9%. Artinya, pada masa itu Nabi lebih suka menekankan “iman”: kualitas personal daripada “Islam” dalam pengertiannya sebagai ‘institusi’. Nabi dan sahabat jarang menyebut kata “Islam”. Pengikut Nabi juga disebut “orang-orang beriman”. Hadis-hadis Nabi juga sangat banyak dengan redaksi “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka bla bla…”. Quran juga menyebut kata “Islam” dan derivasinya hanya 9 kali. Tapi “iman” dan “orang-orang beriman” disebut dalam ribuan ayat. Iman, kata Smith, adalah kualitas aktif, kemampuan untuk menyerap yang transenden, kemampuan untuk mendengar suara Tuhan yang bersih-jernih. Wujud iman adalah perilaku baik (ihsan) kepada Tuhan dan sesama. Nah, Jika memakai perspektif Smith, maka cara membacanya adalah bahwa bagi Nabi dan sahabat esensi agama adalah “kualitas iman”, bukan semata menonjolkan “identitas Islam”. Tetapi, pada masa Tabiit tabi’in hingga tahun 1300 Masehi, karya-karya tulis Muslim bergeser secara drastis: “Iman” hanya disebut 40%, sedangkan “Islam” disebut hingga 60%. Kondisi ini mungkin bisa dipahami: kaum Muslim sudah menyebar jauh kemana-mana, jauh dari tempat asalnya (Mekkah-Madinah) hingga perlu menonjolkan “identitas keislamannya”. Apalagi rentang antara tahun 1000 hingga 1200 M. terjadi perang salib yang mengerikan. Sekarang, bendera Islam, panji Islam dan jubah Islam harus menonjol. Yang lebih parah adalah masa-masa dari abad 14 hingga masa modern; akhir abad 19 (bahkan sampai abad 20!) kata “iman”—dalam karya-karya tulis Muslim—hanya disebut 7,1%, sementara “Islam” disebut hingga 92,9%! (lihat foto). Karena itu, apa-apa harus dilabeli Islam: budaya Islam, politik Islam, Negara Islam, Islamisasi ilmu, bank Islam, asuransi Islam, sekolah Islam, perumahan Islam dst. Parahnya, bagi sebagian Muslim, identitas Islam itu harus Arab! Di masa modern ini, kalau engkau tidak atau kurang menonjolkan “identitas Islam-mu” maka orang ragu: kamu itu muslim atau bukan? Bagaimana dengan dunia Kristen? Sami mawon! Smith membaca dan menganalisis 639 judul buku-buku Kristen, dari abad 15 hingga abad 20. Hasilnya? Di abad 15, kata “iman” (faith) disebut 100%! dalam karya-karya kesarjanaan  Kristen. Di abad 16, barulah kata “Christianity”  (Kristianitas) disebut 10%, lalu naik menjadi 24,2%, lalu naik lagi menjadi 66,8%, lalu naik lagi menjadi 76,2%. Akhirnya, di abad 20, kata “iman” dalam tulisan-tulisan sarjana Kristen, hanya disebut 5,7%, sementara “Kristianitas” disebut 84,9% (lihat foto). Kini, orang Kristen juga harus mengibarkan identitas “kekristenan” mereka. Demikianlah kata Smith, terjadi institusionalisasi besar-besaran. Awalnya, orang-orang beriman lebih berfokus pada kualitas personal, lalu bergeser orientasinya menjadi “yang ideal” hingga akhirnya agama menjadi “institusi formal”. Pertanyaannya: apakah salah kalau kita sekarang suka menonjolkan identitas keagamaan kita? Kata Smith, sama sekali tidak! Institusionalisasi agama dan menguatnya identitas adalah tuntutan historis yang gak bisa dielakkan. Yang salah adalah engkau bangga dengan identitas (ke)-agama (an) tapi kualitas iman engkau abaikan. Jubah-jubah agama dipamerkan tapi perilaku hina, rendah, tidak manusiawi, dan tidak beradab tetap dipraktikkan. Merayakan identitas haruslah bersamaan membawa kualitas iman, kira-kira begitu pesan tersirat Prof. Smith. Ciri-ciri orang beriman? Baca saja dalam kitab suci masing-masing. Tetapi yang jelas, buah iman adalah karya-karya manis, atau dalam bahasa Naguib Mahfuz, sastrawan Mesir peraih Nobel sastra, “menjadi manusia luhur”. Dalam sebuah wawancara dengan the Paris Review (Summer 1992, http://www.theparisreview.org/interviews/2062/the-art-of-fiction-no-129-naguib-mahfouz), Naguib mengingatkan bahwa “menjadi manusia luhur itulah esensi agama, daripada sekedar puasa, sembahyang atau meletakkan jidat di atas sajadah (hanya untuk kesehatan fisik)”. Kata Naguib selanjutnya: “God did not intend religion to be an exercise club” (Tuhan tidak menjadikan agama sebagai klub kebugaran). Dengan data yang sama, boleh saja pembacaan (interpretasi) kita berbeda dengan Smith, tapi riset Smith ini sudah mendorong banyak refleksi untuk semacam hubungan seimbang  antara “agama” ( sebagai identitas sosial/ institusi) dan “iman” (kualitas personal).

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Mengenang Wilfred Cantwell Smith soal “Iman” (faith) dan “Agama” (Religion)"

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel