ALUMNI TIMUR TENGAH; Peranan dan Kiprah dalam Dinamika Islam di Indonesia
December 31, 2016
Add Comment
Prof.Azra, Guru Besar Sejarah Islam UIN Syarf Hidayatullah Jakarta |
Makalah Seminar “Rekonstruksi Pengabdian
Mahasiswa Timur Tengah di Tanahair”
PPMI Mesir, Kairo 25 Juli 2002
ALUMNI TIMUR TENGAH;
Peranan dan Kiprah dalam Dinamika Islam di Indonesia
Azyumardi Azra*
Mengkaji subyek tentang transmissi Islam dari Timur Tengah ke
Indonesia
selama hampir dua dasawarsa, maka argumen penulis bahwa jebolan, lulusan, atau
mereka yang pernah menimba ilmu di Timur Tengah—baik yang tidak mendapat gelar
akademis atau mendapatkannya—memiliki peran tertentu dalam dinamika Islam di tanahair,
masih tetap valid. Peranan penting itu boleh jadi adakalanya sangat
meningkat—karena perubahan-perubahan di Timur Tengah dan Indonesia —boleh
jadi juga menurun, tetapi peranan tersebut jelas tidak bisa diabaikan.
Jika penulis boleh membagi perjalanan historis peranan alumni
atau jebolan Timur Tengah, maka secara kasar dapat dibagi menjadi tiga periode
besar; pertama, periode sejak abad 17 sampai perempatan terakhir abad 19;
kedua, periode akhir abad 19 dan awal abad 20 sampai masa pergerakan nasional
dan kemerdekaan; dan ketiga pada masa pasca-kemerdekaan, khususnya sejak akhir
1970-an. Ketiga periode ini mencerminkan pergeseran dan perubahan-perubahan di
Timur Tengah yang juga mempengaruhi wacana intelektual para penuntut ilmu asal
Indonesia, yang pada gilirannya mempengaruhi kiprah mereka di tanahair.
Sebaliknya, situasi dan perkembangan di tanahair sendiri juga mempengaruhi
dinamika para penuntut ilmu yang tengah belajar di Timur Tengah.
Ashab al-Jawiyyin
Tidak ragu lagi, dalam periode pertama, yang mencakup
setidaknya sejak abad 17 sampai perempatan terakhir abad 19 atau awal abad 20,
Makkah dan Madinah tidak ragu lagi merupakan tempat utama para penuntut ilmu
yang datang dari “bilad al-jawa”—sebagaimana sumber-sumber Arab menyebut
Nusantara atau Asia Tenggara sekarang. Para penuntut ilmu dari “bilad
al-Jawa” itu, selanjutnya disebut naskah-naskah dan sumber-sumber Arab
lainnya sejak abad 17 sampai awal abad 20 sebagai “ashab al-Jawiyyin”,
yang datang tidak harus dari Jawa, tetapi bisa dari Sumatra, Kalimantan,
Sulawesi, Semenanjung Malaya, dan bahkan Patani, yang kini termasuk wilayah
negara Thailand.
Kebangkitan “ashab al-Jawiyyin”
di Haramayn (Makkah dan Madinah)—sebagaimana telah penulis ungkapkan secara
panjang lebar dalam Jaringan `Ulama (Bandung: Mizan 1994; edisi bahasa
Arab, PPIM:1997; dan edisi Inggris 2002), berkaitan dengan semakin meningkatnya
jumlah para penuntut ilmu yang datang dari bilad al-Jawa ke Haramayn
sejak awal abad 17. Peningkatan itu dalam banyak hal berkaitan dengan meningkatnya
kemakmuran di kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara yang terlibat dalam
perdagangan bebas internasional setidak-tidaknya sejak abad 15. Masa-masa
inilah yang disebut sejarawan Antony Reid sebagai “masa perdagangan”, the
age of commerce (Reid 1993).
Perdagangan bebas ini tentu saja menjadi terganggu sejak
kolonialisme Eropa dimulai Portugis pada awal abad 16, yang kemudian disusul
Belanda, Inggris dan lain-lain; tetapi hampir bisa dipastikan arus murid-murid
Jawi yang datang menuntut ilmu ke Haramayn kelihatannya tidak menyusut.
Konsolidasi kolonial pada abad 19 yang menimbulkan perlawanan seperti Perang
Diponegoro atau Perang Padri hanya memberikan dorongan lebih besar (push
factor) bagi pengembaraan menuntut ilmu ke Tanah Suci. Sebagaimana
diungkapkan Hamka dalam Ajahku (1958) banyak kalangan Padri yang
dikalahkan Belanda mengirim anak-kemenakan mereka ke Makkah untuk menuntut ilmu
termasuk misalnya yang kemudian menjadi terkenal seperti Ahmad Khatib
al-Minangkabawi.
Argumen terakhir ini dapat dilihat
dari murid-murid Jawi yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Nusantara dalam
abad ke abad. Dalam abad 17 kita mengenal nama-nama terkemuka seperti Hamzah
Fansuri, Nur al-Din al-Raniri, `Abd al-Ra’uf al-Singkili, Muhammad Yusuf
al-Maqassari; dalam abad 18 terdapat nama-nama terkenal seperti `Abd al-Samad
al-Palimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari, Muhammad Nafis al-Banjari, Daud ibn
`Abd Allah al-Patani; kemudian abad 19 muncul `ulama-ulama seperti Ahmad Rifai
Kalisalak, Muhammad Nawawi al-Bantani, Ahmad Khatib Sambas, Ahmad Khatib
al-Minangkabawi, Muhammad Saleh Darat al-Samarani (Semarang), Hasan, Mustafa
Bandung, Muhammad Mahfuz al-Termasi (Termas, Jawa Timur).
Peranan “ashab al-Jawiyyin”
atau murid-murid Jawi jebolan Haramayn in dalam wacana intelektual dan gerakan
Islam sangat penting. Mereka sangat instrumental dalam kebangkitan
intelektualisme Islam di Nusantara secara keseluruhan setidaknya sejak abad 17.
Dan, sejak abad 17 sampai akhir abad 19 kita melihat kontinuitas dan perubahan
dalam wacana intelektual dan gerakan yang bersumber dari mantan murid-murid
Jawi sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang terjadi di Haramayn sendiri
dan Timur Tengah, dan juga di Nusantara sendiri.
Dalam abad 17 kiprah ulama Jawi lebih
terpusat pada pengembangan wacana intelektual daripada gerakan. Meski begitu,
wacana intelektual yang mereka kembangkan tak bisa tidak sangat mempengaruhi
dinamika Islam di Nusantara. Wacana intelektual yang dikembangkan tokoh-tokoh
ulama Jawi seperti Hamzah Fansuri, ar-Raniri, al-Singkili, al-Makassari
mencakup dua aspek Islam yang tidak bisa dipisahkan. Pertama, aspek esoteris;
baik tasawuf falsafi maupun tasawuf `amali. Kontroversi yang sudah cukup klasik
mengenai kedua corak tasawuf ini juga mewarnai wacana intelektual; memunculkan
diskusi intens tentang “wujudiyyah muwahhid” dan “wujudiyyah mulhid”.
Pada akhirnya, “wujudiyyah muwahhid” atau tasawwuf yang menekankan
transendensi Tuhan di atas segala makhluk, kesesuaian dengan syariah,
peningkatan akhlak dan amal berhasil mencapai supremasinya di atas “wujudiyyah
mulhid”, atau tasawuf yang menekankan immanensi Tuhan, dan cenderung sangat
filosofis dan spekulatif.
Pada segi lain, para ulama Jawi ini
juga memainkan peranan penting dalam kebangkitan intelektualisme Islam Asia
Tenggara dan bidang-bidang eksoterik. Ini diwujudkan dengan menulis karya-karya
yang kemudian sangat monumental dalam bidang fiqh, tafsir, hadits dan
lain-lain. Al-Raniri misalnya menghasilkan karya al-Sirat al-Mustaqim
yang merupakan kitab fiqh ibadah pertama dalam bahasa Melayu; al-Singkili
menulis Mir’at al-Tullah, kitab fiqh mu`amalah pertama dalam bahasa
Melayu dan Tarjuman al-Mustafid yang merupakan tafsir lengkap 30 juz
pertama dalam bahasa Melayu. Karya-karya seperti ini, yang naskah-naskah
menyebar dalam waktu singkat ke berbagai tempat di Nusantara tidak ragu lagi
memiliki peranan penting dalam pembaruan dan peningkatan pemahaman terhadap
Islam dalam masyarakat Muslim di wilayah ini. Karya-karya produk ulama Jawi
abad 17—hemat saya—telah mendorong terjadinya gelombang pembaruan Islam yang
pertama di Nusantara (Azra 1994).
Kecenderungan intelektualisme Islam
yang berorientasi pada tasawuf amali terus terlihat dalam wacana intelektual
Islam pada abad 18 dan 19, seperti terlihat dalam karya-karya tokoh ulama seperti
al-Palembani, Muhammad Arsyad al-Banjari, Nawawi al-Bantani, Ahmad Khatib
al-Minangkabawi. Sepanjang abad 18 penekanan pada tasawuf amali semakin
menguat. Pada saat yang sama konsolidasi kekuasaan kolonial di Nusantara,
khususnya Belanda di Indonesia, dan Inggris di Semenanjung Malaya, mendorong
terjadinya radikalisasi tarekat, yang berujung pada perlawanan jihad terhadap
kolonialisme Eropa sepanjang abad 19 dan awal abad 20.
Penting dicatat, pada akhir abad 19
dan awal 20, antara lain karena pengaruh “modernisme Islam” yang tengah bangkit
di Timur Tengah, sementara ulama Jawi ini, khususnya al-Bantani dan Ahmad
Khatib al-Minangkabawi juga mengembangkan sikap kritis terhadap esotorisme
Islam. Kritisisme mereka tertuju tidak kepada tasawwuf as such, tetapi
lebih kepada tarekat dengan para syaikh dan mursyidnya yang cenderung menuntut
taklid dan kepatuhan yang berlebih-lebihan dari para murid anggota tarekat.
Selain itu, praktek-praktek tarekat cenderung bercampur baur dengan bid`ah,
khurafat dan takhyul yang, seperti diketahui, menjadi sasaran kritikan
modernisme Islam yang tengah tumbuh. Kritik-kritik seperti ini hampuir bisa
dipastikan mendorong terjadi pembaharuan dan pemurnian di lingkungan tarekat,
sehingga dapat lebih sesuai dengan tuntunan syari`ah dan perkembangan zaman.
Memandang pengalaman ulama Jawi
sepanjang abad 17 sampai akhir abad 19, sementara kalangan yang tidak banyak
mendalami sejarah wacana intelektualisme Islam di Nusantara menilai secara
terburu-buru, bahwa intelektualisme Islam di kawasan ini hanya baru mampu
menjadi “konsumen” belum “produsen”. Pengalaman para ulama Jawi dengan
karya-karya monumentalnya menunjukkan kenyataan lain; mereka sebaliknya malah
sangat prolific, dan produktif banyak karya dalam berbagai bidang kajian
Islam. Dan, bahkan kajian-kajian komparatif seperti yang dilakukan misalnya
oleh Ann Marie Schimmel dan Bukhari Lubis tentang intelektualisme Islam di
berbagai kawasan Dunia Muslim menunjukkan, bahwa karya-karya ulama Jawi ini
merupakan karya intelektual bernilai tinggi dan genius.
Kairo: Intelektualisme dan Aktivisme
Munculnya kritisisme yang tajam
terhadap tarekat dari Nawawi al-Bantani dan Ahmad Khatib al-Minangkabawi
sesungguhnya mencerminkan terjadinya transisi wacana intelektual dan gerakan
Islam sedikitnya sejak perempatan abad 19. Transisi itu jelas sangat
dipengaruhi perubahan-perubahan wacana intelektualisme dan gerakan Islam di
Timur Tengah secara keseluruhan. Sejak perempatan terakhir abad 19 wacana dan
gerakan yang sering disebut sebagai “modernisme” Islam muncul di Timur Tengah
melalui tokoh-tokoh seperti Jamal al-Din al-Afghani (al-Asabadi), Muhammad
`Abduh, Muhammad Rasyid Rida. Wacana intelektual dan gerakan modernisme Islam
merupakan perkembangan lebih lanjut dari upaya-upaya pembaruan yang dilakukan
di Turki misalnya melalui Tanzimat dan, kemudian di Mesir melalui tokoh-tokoh
seperti Muhammad `Ali Pasya, Rif `ah al-Tahtawi
dan lain-lain.
Kebangkitan modernisme Islam di Mesir
khususnya, tidak bisa dielakkan juga mempengaruhi wacana intelektualisme Islam
di Haramayn. Transmissi modernisme Islam ke Haramayn dimungkinkan tidak hanya
melalui ulama dan aktivis yang menunaikan ibadah haji, tetapi juga melalui
berbagai bentuk penerbitan sebagai hasil dari penemuan mesin cetak. Hasilnya,
kalangan ulama Jawi di Mekkah, khususnya, tidak lagi immun dari pengaruh
modernisme Islam. Kenyataan ini dapat dilihat dari wacana intelektual yang
dikembangkan Nawawi al-Bantani dan Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Sebagaimana
dikemukakan di atas, semangat modernisme Islam juga memunculkan kritisisme
mereka terhadap praktek-praktek tarekat misalnya. Lebih jauh, seperti
disimpulkan Riddell (2001:195-6), bahkan tafsir karya al-Nawawi, al-Nur
Marah Labid, juga dipengaruhi semangat modernisme Islam, khususnya yang
dikembangkan `Abduh.
Perempatan terakhir abad 19,
dengan demikian, menandai periode transisi penting dalam sejarah “murid-murid
Jawi”, tidak hanya dalam lokus keilmuan mereka, tetapi juga dalam kecenderungan
wacana intelektual, dan pada gilirannya dalam peranan mereka ketika kembali ke
tanahair kelak. Pergeseran itu terjadi ketika Kairo mulai muncul sebagai tujuan
untuk menuntut ilmu. Haramayn tentu saja masih tetap sentral, namun Kairo yang
semakin meningkat perannya sebagai lokus Islam juga mulai menarik minat para penuntut
ilmu dari Nusantara. Dalam perjalanan waktu semakin banyak murid-murid Jawi
yang juga melakukan rihlah `ilmiyyah
dan talab al-`ilm di Kairo untuk belajar khususnya di Universitas
al-Azhar.
Sejarah kemunculan Kairo sebagai
sumber intelektualisme Islam Nusantara sebenarnya sudah mulai sejak abad 17
ketika murid-murid Jawi, seperti al-Singkili ketika belajar di Haramayn
mengadakan kontak dan belajar dari ulama-ulama al-Azhar yang mengadakan
perjalanan ibadah haji dan menetap selama beberapa waktu di Makkah dan Madinah.
Kontak dan pembelajaran seperti ini semakin meningkat pada abad 18 ketika
murid-murid Jawi seperti al-Palimbani dan Muhammad Arsyad al-Banjari juga
belajar pada beberapa ulama dan bahkan Syaikh al-Azhar yang datang ke Mekkah
(Azra 1994). Bahkan `ulama abad 19 seperti Ahmad Rifai Kalisalak juga
menuturkan pengalamannya belajar dengan kalangan ulama al-Azhar. Dan tak kurang
pentingnya, Nawawi al-Bantani pada 1870-an juga mengadakan perjalanan ke Kairo,
di mana dia dilaporkan bertemu dengan Muhammad `Abduh dan sekaligus memberikan
ceramah di lingkungan al-Azhar.
Tetapi sejarah kehadiran “murid-murid
Jawi” yang secara sengaja datang ke al-Azhar untuk menuntut ilmu bisa dilacak
pula melalui sejarah “riwaq Jawi” yang terdapat di lingkungan kampus
Universitas al-Azhar. “Riwaq” yang merupakan pemondokan para penuntut ilmu di
Universitas al-Azhar yang datang dari wilayah yang sama. Sejarahnya bermula
sejak zaman Mamluk, yang dibangun dari wakaf orang-orang kaya atau penguasa.
Pada setiap riwaq terdapat “syaikh” yang bertanggungjawab mencatat nama para
penghuni dan kehadiran mereka belajar di al-Azhar.
Menurut sejarawan terkemuka Mesir Ali Mubarak (1306H, IV:22;
Barakat 1982:86; Abaza 1994:38), pada pertengahan abad 19 telah terdapat “riwaq
Jawi” yang terletak di antara “riwaq Salmaniyyah” (yang menampung
murid-murid dari Afghanistan dan Khurasan) dan “riwaq al-Syawwam”
(pemondokan murid-murid Syria). Riwaq al-Jawi ini kelihatan dihuni 11 “murid
Jawi”, karena terdapat data bahwa jumlah roti yang dibagikan pada setiap kali
waktu makan adalah sebanyak 11 potong. Riwaq Jawi yang juga memiliki sebuah
perpustakaan kecil ini dipimpin oleh Syaikh Muhammad al-Jawi. Mengutip data
dari Ignaz Goldziher, Abaza yang mengungkapkan, pada 1871 terdapat enam murid
Jawi yang tinggal di riwaq Jawi tersebut, tetapi pada 1875 mereka keluar dari
sana.
Syaikh Muhammad al-Jawi yang
disebutkan Ali Mubarak tadi menurut Laffan (2000:156) agaknya adalah Isma`il
Muhammad al-Jawi al-Minangkabawi yang riwayat hidupnya dipaparkan Aboe Bakar
dalam makhtutah berjudul Tarajim `Ulama Jawi (Cod.Or.7111).
Tetapi juga ada Syaikh Isma`il `Abd al-Mutalib al-Minangkabawi yang lahir di
Padang, Sumatera Barat, pada 1869 dan sampai di Kairo sekitar 1894 setelah
belajar beberapa tahun di Makkah. Syaikh Isma`il yang terakhir ini adalah murid
Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Makkah. Syaikh Isma`il ini sangat
mungkin sama dengan Syaikh Isma`il al-Minangkabawi yang sangat aktif
menyebarkan Tarekat Naqsyabandiyyah yang reformis di Singapura dan Kepulauan
Riau pada akhir abad 19 (cf Azra, 1995:9-13).
Ahmad Khatib sendiri juga mengirim dua putranya `Abd al-Karim
(wafat 1947) dan `Abd al-Hamid (w. 1962) untuk belajar di Universitas al-Azhar;
dan tentu saja kemenakannya yang lebih terkenal, Muhammad Tahir Jalal al-Din
(1869-1956) yang belajar di Makkah antara 1880-1895) kemudian menuntut ilmu di
Universitas al-Azhar selama empat tahun, khususnya ilmu falak.
Muhammad Tahir Jalal al-Din yang
kemudian juga terkenal dengan laqab al-Azhari al-Minangkabawi mengadakan
kontak dengan Abduh dan membangun kerjasama dan persahabatan dengan Rasyid
Rida. Karena itu, tidak heran, kalau ia kemudian, setelah kembali ke Nusantara
menerbitkan jurnal al-Imam di Singapura; jurnal ini terkenal sebagai mouthpiece
jurnal al-Manar yang diterbitkan Rida dan memiliki pengaruh penting
dalam perkembangan gerakan modernisme Islam di Nusantara secara keseluruhan
(Azra 1999e; cf Bluhm-Warn 1997).
Jaringan murid-murid Jawi dengan tokoh
pewaris modernisme Islam di Kairo, persisnya dengan Rasyid Rida, selanjutnya
berkembang lebih luas. Dodge (1961:164, 165) mengutip data tentang komposisi
mahasiswa Universitas al-Azhar pada 1902, menyatakan terdapat 645 mahasiswa
asing; dan tujuh di antaranya adalah “Javanese”, yang dengan pantas
dapat kita sebut sebagai murid-murid Jawi. Selanjutnya Kairo menerima semakin
banyak penuntut ilmu dari Nusantara. Pada 1904 misalnya dilaporkan bahwa dari
14 murid Jawi yang belajar dari Kairo empat di antaranya adalah keluarga Sultan
Riau Lingga; mereka belajar di madrasah persiapan sebelum masuk Universitas
al-Azhar. Mereka ini dibawa ke Kairo oleh Syaikh Tahir Jalal al-Din dan tokoh
Hadrami, Sayyid Syaikh bin Ahmad al-Hadi (1967-1934) (Azra 1999e:83-5; Laffan
2000:157).
Pertumbuhan komunitas murid-murid Jawi
tidak lepas dari perhatian dan intipan pemerintah kolonial Belanda. Sedangkan
masyarakat Jawi di Hijaz telah menjadi incaran dan pengawasan Belanda. Snouck
Hurgronje bahkan sempat bermukim di Jeddah untuk kemudian masuk ke Makkah; dia
dibantu oleh Abou Bakar untuk mengumpulkan berbagai informasi dan data tentang
masyarakat Jawi di Hijaz. Hasilnya antara lain adalah Tarajim `Ulama Jawi yang
menjadi bahan utama bagi Snouck dalam menulis riwayat sejumlah ulama Jawi dalam
karyanya Mekka in the Latter Part of the Nineteenth Century. Aboe Bakar
tidak lupa mengingatkan Snouck tentang munculnya al-Hijaz al-Jadid di
tempat lain, yang bisa diduga adalah Kairo, di mana iklim intelektual dan
aktivisme Islam jauh lebih terbuka dan bebas (Laffan 2000:158).
Hasilnya bisa diduga. Sejak 1900
murid-murid semakin banyak di Kairo. Maka, pada 1908 pemerintah Belanda mulai
mendaftar nama murid-murid Jawi di Kairo. Menurut catatan Belanda, murid-murid
Jawi di Kairo datang dari berbagai tempat di Nusantara; termasuk Lampung,
Minangkabau, Sambas (sejak 1910), dan Banten (khususnya sejak 1912). Di antara
murid-murid ini juga terdapat tiga murid yang merupakan keturunan Hadhrami,
yang sebelumnya berencana menuntut ilmu di Galatasaray Istanbul . Bahkan terdapat laporan Belanda
yang menyatakan, bahwa sejak 1900 sampai 1915 seorang “Jawa” bernama Syaikh
Umar Tabrani mengajar di Al-Azhar. Dia lahir di Tegal pada 1878, putra seorang
pedagang Haji Nawawi. Tabrani diduga sampai di Kairo setelah sebelumnya selama
empat tahun belajar di Makkah (Laffan 2000:164).
Dengan terus meningkatnya jumlah
murid-murid Jawi, maka riwaq Jawi juga semakin padat dan sesak; pada 1912
dilaporkan terdapat 12 murid Jawi yang tinggal di sana. Hal ini mendorong
Isma`il `Abd al-Mutalib, syaikh riwaq Jawi untuk mengajukan permohonan kepada
Kementerian Wakaf Mesir untuk menambah kamar. Permintaan yang disampaikan juga
kepada Konsul Belanda di Mesir, van Lennep, mendapatkan respon negatif dari
Belanda. Meski ada preseden, pemerintah kolonial Italia membangun riwaq di
Kairo untuk murid-murid Muslim yang berasal dari wilayah jajahanya di Eretria
dan Tripolitania, pemerintah Belanda atas saran Snouck Hurgronje menolak
melakukan hal serupa. Menurut Snouck secara sinis adalah “aneh jika pemerintah
Belanda sampai mempertimbangkan “murid-murid Jawi yang telah menjadi sampah di
tempat pengajaran abad pertengahan seperti Kairo dan Makkah. Jika pemerintah
Belanda menyediakan asrama bagi murid-murid Jawi di Kairo, maka sebelumnya
Belanda harus juga menyediakan perumahan bagi ribuan masyarakat Jawi di Makkah
(dikutip dalam Laffan 2000:168).
Pluralisme Wacana Kontemporer
Kajian
Abaza, dst…
Penutup
Wacana
intelektual dan gerakan Islam Indonesia
dalam dua dasawarsa terakhir jelas jauh lebih kompleks. Sumber-sumber
intelektualisme semakin beragam, tidak lagi terbatas pada Timur Tengah, tetapi
juga mencakup sumber-sumber lain.
0 Response to "ALUMNI TIMUR TENGAH; Peranan dan Kiprah dalam Dinamika Islam di Indonesia"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR