-->

ALUMNI TIMUR TENGAH; Peranan dan Kiprah dalam Dinamika Islam di Indonesia

http://www.faquha.com/2016/12/Alumni-timur-tengah-peranan-dan-kiprah-dalam-dinamika-Islam-di-Indonesia-oleh-Prof-Azra-UIN-Jakarta.html
Prof.Azra, Guru Besar Sejarah Islam UIN Syarf Hidayatullah Jakarta 

Makalah Seminar “Rekonstruksi Pengabdian
Mahasiswa Timur Tengah di Tanahair”
PPMI Mesir, Kairo 25 Juli 2002


ALUMNI TIMUR TENGAH;
Peranan dan Kiprah dalam Dinamika Islam di Indonesia

Azyumardi Azra*


Mengkaji subyek tentang transmissi Islam dari Timur Tengah ke Indonesia selama hampir dua dasawarsa, maka argumen penulis bahwa jebolan, lulusan, atau mereka yang pernah menimba ilmu di Timur Tengah—baik yang tidak mendapat gelar akademis atau mendapatkannya—memiliki peran tertentu dalam dinamika Islam di tanahair, masih tetap valid. Peranan penting itu boleh jadi adakalanya sangat meningkat—karena perubahan-perubahan di Timur Tengah dan Indonesia—boleh jadi juga menurun, tetapi peranan tersebut jelas tidak bisa diabaikan.

Jika penulis boleh membagi perjalanan historis peranan alumni atau jebolan Timur Tengah, maka secara kasar dapat dibagi menjadi tiga periode besar; pertama, periode sejak abad 17 sampai perempatan terakhir abad 19; kedua, periode akhir abad 19 dan awal abad 20 sampai masa pergerakan nasional dan kemerdekaan; dan ketiga pada masa pasca-kemerdekaan, khususnya sejak akhir 1970-an. Ketiga periode ini mencerminkan pergeseran dan perubahan-perubahan di Timur Tengah yang juga mempengaruhi wacana intelektual para penuntut ilmu asal Indonesia, yang pada gilirannya mempengaruhi kiprah mereka di tanahair. Sebaliknya, situasi dan perkembangan di tanahair sendiri juga mempengaruhi dinamika para penuntut ilmu yang tengah belajar di Timur Tengah.

Ashab al-Jawiyyin

Tidak ragu lagi, dalam periode pertama, yang mencakup setidaknya sejak abad 17 sampai perempatan terakhir abad 19 atau awal abad 20, Makkah dan Madinah tidak ragu lagi merupakan tempat utama para penuntut ilmu yang datang dari “bilad al-jawa”—sebagaimana sumber-sumber Arab menyebut Nusantara atau Asia Tenggara sekarang. Para penuntut ilmu dari “bilad al-Jawa” itu, selanjutnya disebut naskah-naskah dan sumber-sumber Arab lainnya sejak abad 17 sampai awal abad 20 sebagai “ashab al-Jawiyyin”, yang datang tidak harus dari Jawa, tetapi bisa dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Semenanjung Malaya, dan bahkan Patani, yang kini termasuk wilayah negara Thailand.

          Kebangkitan “ashab al-Jawiyyin” di Haramayn (Makkah dan Madinah)—sebagaimana telah penulis ungkapkan secara panjang lebar dalam Jaringan `Ulama (Bandung: Mizan 1994; edisi bahasa Arab, PPIM:1997; dan edisi Inggris 2002), berkaitan dengan semakin meningkatnya jumlah para penuntut ilmu yang datang dari bilad al-Jawa ke Haramayn sejak awal abad 17. Peningkatan itu dalam banyak hal berkaitan dengan meningkatnya kemakmuran di kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara yang terlibat dalam perdagangan bebas internasional setidak-tidaknya sejak abad 15. Masa-masa inilah yang disebut sejarawan Antony Reid sebagai “masa perdagangan”, the age of commerce (Reid 1993).

Perdagangan bebas ini tentu saja menjadi terganggu sejak kolonialisme Eropa dimulai Portugis pada awal abad 16, yang kemudian disusul Belanda, Inggris dan lain-lain; tetapi hampir bisa dipastikan arus murid-murid Jawi yang datang menuntut ilmu ke Haramayn kelihatannya tidak menyusut. Konsolidasi kolonial pada abad 19 yang menimbulkan perlawanan seperti Perang Diponegoro atau Perang Padri hanya memberikan dorongan lebih besar (push factor) bagi pengembaraan menuntut ilmu ke Tanah Suci. Sebagaimana diungkapkan Hamka dalam Ajahku (1958) banyak kalangan Padri yang dikalahkan Belanda mengirim anak-kemenakan mereka ke Makkah untuk menuntut ilmu termasuk misalnya yang kemudian menjadi terkenal seperti Ahmad Khatib al-Minangkabawi.

          Argumen terakhir ini dapat dilihat dari murid-murid Jawi yang kemudian menjadi ulama terkemuka di Nusantara dalam abad ke abad. Dalam abad 17 kita mengenal nama-nama terkemuka seperti Hamzah Fansuri, Nur al-Din al-Raniri, `Abd al-Ra’uf al-Singkili, Muhammad Yusuf al-Maqassari; dalam abad 18 terdapat nama-nama terkenal seperti `Abd al-Samad al-Palimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari, Muhammad Nafis al-Banjari, Daud ibn `Abd Allah al-Patani; kemudian abad 19 muncul `ulama-ulama seperti Ahmad Rifai Kalisalak, Muhammad Nawawi al-Bantani, Ahmad Khatib Sambas, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Muhammad Saleh Darat al-Samarani (Semarang), Hasan, Mustafa Bandung, Muhammad Mahfuz al-Termasi (Termas, Jawa Timur).

          Peranan “ashab al-Jawiyyin” atau murid-murid Jawi jebolan Haramayn in dalam wacana intelektual dan gerakan Islam sangat penting. Mereka sangat instrumental dalam kebangkitan intelektualisme Islam di Nusantara secara keseluruhan setidaknya sejak abad 17. Dan, sejak abad 17 sampai akhir abad 19 kita melihat kontinuitas dan perubahan dalam wacana intelektual dan gerakan yang bersumber dari mantan murid-murid Jawi sebagai akibat dari perubahan-perubahan yang terjadi di Haramayn sendiri dan Timur Tengah, dan juga di Nusantara sendiri.

          Dalam abad 17 kiprah ulama Jawi lebih terpusat pada pengembangan wacana intelektual daripada gerakan. Meski begitu, wacana intelektual yang mereka kembangkan tak bisa tidak sangat mempengaruhi dinamika Islam di Nusantara. Wacana intelektual yang dikembangkan tokoh-tokoh ulama Jawi seperti Hamzah Fansuri, ar-Raniri, al-Singkili, al-Makassari mencakup dua aspek Islam yang tidak bisa dipisahkan. Pertama, aspek esoteris; baik tasawuf falsafi maupun tasawuf `amali. Kontroversi yang sudah cukup klasik mengenai kedua corak tasawuf ini juga mewarnai wacana intelektual; memunculkan diskusi intens tentang “wujudiyyah muwahhid” dan “wujudiyyah mulhid”. Pada akhirnya, “wujudiyyah muwahhid” atau tasawwuf yang menekankan transendensi Tuhan di atas segala makhluk, kesesuaian dengan syariah, peningkatan akhlak dan amal berhasil mencapai supremasinya di atas “wujudiyyah mulhid”, atau tasawuf yang menekankan immanensi Tuhan, dan cenderung sangat filosofis dan spekulatif.

          Pada segi lain, para ulama Jawi ini juga memainkan peranan penting dalam kebangkitan intelektualisme Islam Asia Tenggara dan bidang-bidang eksoterik. Ini diwujudkan dengan menulis karya-karya yang kemudian sangat monumental dalam bidang fiqh, tafsir, hadits dan lain-lain. Al-Raniri misalnya menghasilkan karya al-Sirat al-Mustaqim yang merupakan kitab fiqh ibadah pertama dalam bahasa Melayu; al-Singkili menulis Mir’at al-Tullah, kitab fiqh mu`amalah pertama dalam bahasa Melayu dan Tarjuman al-Mustafid yang merupakan tafsir lengkap 30 juz pertama dalam bahasa Melayu. Karya-karya seperti ini, yang naskah-naskah menyebar dalam waktu singkat ke berbagai tempat di Nusantara tidak ragu lagi memiliki peranan penting dalam pembaruan dan peningkatan pemahaman terhadap Islam dalam masyarakat Muslim di wilayah ini. Karya-karya produk ulama Jawi abad 17—hemat saya—telah mendorong terjadinya gelombang pembaruan Islam yang pertama di Nusantara (Azra 1994).

          Kecenderungan intelektualisme Islam yang berorientasi pada tasawuf amali terus terlihat dalam wacana intelektual Islam pada abad 18 dan 19, seperti terlihat dalam karya-karya tokoh ulama seperti al-Palembani, Muhammad Arsyad al-Banjari, Nawawi al-Bantani, Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Sepanjang abad 18 penekanan pada tasawuf amali semakin menguat. Pada saat yang sama konsolidasi kekuasaan kolonial di Nusantara, khususnya Belanda di Indonesia, dan Inggris di Semenanjung Malaya, mendorong terjadinya radikalisasi tarekat, yang berujung pada perlawanan jihad terhadap kolonialisme Eropa sepanjang abad 19 dan awal abad 20.

          Penting dicatat, pada akhir abad 19 dan awal 20, antara lain karena pengaruh “modernisme Islam” yang tengah bangkit di Timur Tengah, sementara ulama Jawi ini, khususnya al-Bantani dan Ahmad Khatib al-Minangkabawi juga mengembangkan sikap kritis terhadap esotorisme Islam. Kritisisme mereka tertuju tidak kepada tasawwuf as such, tetapi lebih kepada tarekat dengan para syaikh dan mursyidnya yang cenderung menuntut taklid dan kepatuhan yang berlebih-lebihan dari para murid anggota tarekat. Selain itu, praktek-praktek tarekat cenderung bercampur baur dengan bid`ah, khurafat dan takhyul yang, seperti diketahui, menjadi sasaran kritikan modernisme Islam yang tengah tumbuh. Kritik-kritik seperti ini hampuir bisa dipastikan mendorong terjadi pembaharuan dan pemurnian di lingkungan tarekat, sehingga dapat lebih sesuai dengan tuntunan syari`ah dan perkembangan zaman.

          Memandang pengalaman ulama Jawi sepanjang abad 17 sampai akhir abad 19, sementara kalangan yang tidak banyak mendalami sejarah wacana intelektualisme Islam di Nusantara menilai secara terburu-buru, bahwa intelektualisme Islam di kawasan ini hanya baru mampu menjadi “konsumen” belum “produsen”. Pengalaman para ulama Jawi dengan karya-karya monumentalnya menunjukkan kenyataan lain; mereka sebaliknya malah sangat prolific, dan produktif banyak karya dalam berbagai bidang kajian Islam. Dan, bahkan kajian-kajian komparatif seperti yang dilakukan misalnya oleh Ann Marie Schimmel dan Bukhari Lubis tentang intelektualisme Islam di berbagai kawasan Dunia Muslim menunjukkan, bahwa karya-karya ulama Jawi ini merupakan karya intelektual bernilai tinggi dan genius.

Kairo: Intelektualisme dan Aktivisme

          Munculnya kritisisme yang tajam terhadap tarekat dari Nawawi al-Bantani dan Ahmad Khatib al-Minangkabawi sesungguhnya mencerminkan terjadinya transisi wacana intelektual dan gerakan Islam sedikitnya sejak perempatan abad 19. Transisi itu jelas sangat dipengaruhi perubahan-perubahan wacana intelektualisme dan gerakan Islam di Timur Tengah secara keseluruhan. Sejak perempatan terakhir abad 19 wacana dan gerakan yang sering disebut sebagai “modernisme” Islam muncul di Timur Tengah melalui tokoh-tokoh seperti Jamal al-Din al-Afghani (al-Asabadi), Muhammad `Abduh, Muhammad Rasyid Rida. Wacana intelektual dan gerakan modernisme Islam merupakan perkembangan lebih lanjut dari upaya-upaya pembaruan yang dilakukan di Turki misalnya melalui Tanzimat dan, kemudian di Mesir melalui tokoh-tokoh seperti Muhammad `Ali Pasya, Rif`ah al-Tahtawi dan lain-lain.
          Kebangkitan modernisme Islam di Mesir khususnya, tidak bisa dielakkan juga mempengaruhi wacana intelektualisme Islam di Haramayn. Transmissi modernisme Islam ke Haramayn dimungkinkan tidak hanya melalui ulama dan aktivis yang menunaikan ibadah haji, tetapi juga melalui berbagai bentuk penerbitan sebagai hasil dari penemuan mesin cetak. Hasilnya, kalangan ulama Jawi di Mekkah, khususnya, tidak lagi immun dari pengaruh modernisme Islam. Kenyataan ini dapat dilihat dari wacana intelektual yang dikembangkan Nawawi al-Bantani dan Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Sebagaimana dikemukakan di atas, semangat modernisme Islam juga memunculkan kritisisme mereka terhadap praktek-praktek tarekat misalnya. Lebih jauh, seperti disimpulkan Riddell (2001:195-6), bahkan tafsir karya al-Nawawi, al-Nur Marah Labid, juga dipengaruhi semangat modernisme Islam, khususnya yang dikembangkan `Abduh.

            Perempatan terakhir abad 19, dengan demikian, menandai periode transisi penting dalam sejarah “murid-murid Jawi”, tidak hanya dalam lokus keilmuan mereka, tetapi juga dalam kecenderungan wacana intelektual, dan pada gilirannya dalam peranan mereka ketika kembali ke tanahair kelak. Pergeseran itu terjadi ketika Kairo mulai muncul sebagai tujuan untuk menuntut ilmu. Haramayn tentu saja masih tetap sentral, namun Kairo yang semakin meningkat perannya sebagai lokus Islam juga mulai menarik minat para penuntut ilmu dari Nusantara. Dalam perjalanan waktu semakin banyak murid-murid Jawi yang  juga melakukan rihlah `ilmiyyah dan talab al-`ilm di Kairo untuk belajar khususnya di Universitas al-Azhar.

          Sejarah kemunculan Kairo sebagai sumber intelektualisme Islam Nusantara sebenarnya sudah mulai sejak abad 17 ketika murid-murid Jawi, seperti al-Singkili ketika belajar di Haramayn mengadakan kontak dan belajar dari ulama-ulama al-Azhar yang mengadakan perjalanan ibadah haji dan menetap selama beberapa waktu di Makkah dan Madinah. Kontak dan pembelajaran seperti ini semakin meningkat pada abad 18 ketika murid-murid Jawi seperti al-Palimbani dan Muhammad Arsyad al-Banjari juga belajar pada beberapa ulama dan bahkan Syaikh al-Azhar yang datang ke Mekkah (Azra 1994). Bahkan `ulama abad 19 seperti Ahmad Rifai Kalisalak juga menuturkan pengalamannya belajar dengan kalangan ulama al-Azhar. Dan tak kurang pentingnya, Nawawi al-Bantani pada 1870-an juga mengadakan perjalanan ke Kairo, di mana dia dilaporkan bertemu dengan Muhammad `Abduh dan sekaligus memberikan ceramah di lingkungan al-Azhar.

          Tetapi sejarah kehadiran “murid-murid Jawi” yang secara sengaja datang ke al-Azhar untuk menuntut ilmu bisa dilacak pula melalui sejarah “riwaq Jawi” yang terdapat di lingkungan kampus Universitas al-Azhar. “Riwaq” yang merupakan pemondokan para penuntut ilmu di Universitas al-Azhar yang datang dari wilayah yang sama. Sejarahnya bermula sejak zaman Mamluk, yang dibangun dari wakaf orang-orang kaya atau penguasa. Pada setiap riwaq terdapat “syaikh” yang bertanggungjawab mencatat nama para penghuni dan kehadiran mereka belajar di al-Azhar.
Menurut sejarawan terkemuka Mesir Ali Mubarak (1306H, IV:22; Barakat 1982:86; Abaza 1994:38), pada pertengahan abad 19 telah terdapat “riwaq Jawi” yang terletak di antara “riwaq Salmaniyyah” (yang menampung murid-murid dari Afghanistan dan Khurasan) dan “riwaq al-Syawwam” (pemondokan murid-murid Syria). Riwaq al-Jawi ini kelihatan dihuni 11 “murid Jawi”, karena terdapat data bahwa jumlah roti yang dibagikan pada setiap kali waktu makan adalah sebanyak 11 potong. Riwaq Jawi yang juga memiliki sebuah perpustakaan kecil ini dipimpin oleh Syaikh Muhammad al-Jawi. Mengutip data dari Ignaz Goldziher, Abaza yang mengungkapkan, pada 1871 terdapat enam murid Jawi yang tinggal di riwaq Jawi tersebut, tetapi pada 1875 mereka keluar dari sana.

          Syaikh Muhammad al-Jawi yang disebutkan Ali Mubarak tadi menurut Laffan (2000:156) agaknya adalah Isma`il Muhammad al-Jawi al-Minangkabawi yang riwayat hidupnya dipaparkan Aboe Bakar dalam makhtutah berjudul Tarajim `Ulama Jawi (Cod.Or.7111). Tetapi juga ada Syaikh Isma`il `Abd al-Mutalib al-Minangkabawi yang lahir di Padang, Sumatera Barat, pada 1869 dan sampai di Kairo sekitar 1894 setelah belajar beberapa tahun di Makkah. Syaikh Isma`il yang terakhir ini adalah murid Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi di Makkah. Syaikh Isma`il ini sangat mungkin sama dengan Syaikh Isma`il al-Minangkabawi yang sangat aktif menyebarkan Tarekat Naqsyabandiyyah yang reformis di Singapura dan Kepulauan Riau pada akhir abad 19 (cf Azra, 1995:9-13).

Ahmad Khatib sendiri juga mengirim dua putranya `Abd al-Karim (wafat 1947) dan `Abd al-Hamid (w. 1962) untuk belajar di Universitas al-Azhar; dan tentu saja kemenakannya yang lebih terkenal, Muhammad Tahir Jalal al-Din (1869-1956) yang belajar di Makkah antara 1880-1895) kemudian menuntut ilmu di Universitas al-Azhar selama empat tahun, khususnya ilmu falak.

          Muhammad Tahir Jalal al-Din yang kemudian juga terkenal dengan laqab al-Azhari al-Minangkabawi mengadakan kontak dengan Abduh dan membangun kerjasama dan persahabatan dengan Rasyid Rida. Karena itu, tidak heran, kalau ia kemudian, setelah kembali ke Nusantara menerbitkan jurnal al-Imam di Singapura; jurnal ini terkenal sebagai mouthpiece jurnal al-Manar yang diterbitkan Rida dan memiliki pengaruh penting dalam perkembangan gerakan modernisme Islam di Nusantara secara keseluruhan (Azra 1999e; cf Bluhm-Warn 1997).

          Jaringan murid-murid Jawi dengan tokoh pewaris modernisme Islam di Kairo, persisnya dengan Rasyid Rida, selanjutnya berkembang lebih luas. Dodge (1961:164, 165) mengutip data tentang komposisi mahasiswa Universitas al-Azhar pada 1902, menyatakan terdapat 645 mahasiswa asing; dan tujuh di antaranya adalah “Javanese”, yang dengan pantas dapat kita sebut sebagai murid-murid Jawi. Selanjutnya Kairo menerima semakin banyak penuntut ilmu dari Nusantara. Pada 1904 misalnya dilaporkan bahwa dari 14 murid Jawi yang belajar dari Kairo empat di antaranya adalah keluarga Sultan Riau Lingga; mereka belajar di madrasah persiapan sebelum masuk Universitas al-Azhar. Mereka ini dibawa ke Kairo oleh Syaikh Tahir Jalal al-Din dan tokoh Hadrami, Sayyid Syaikh bin Ahmad al-Hadi (1967-1934) (Azra 1999e:83-5; Laffan 2000:157).

          Pertumbuhan komunitas murid-murid Jawi tidak lepas dari perhatian dan intipan pemerintah kolonial Belanda. Sedangkan masyarakat Jawi di Hijaz telah menjadi incaran dan pengawasan Belanda. Snouck Hurgronje bahkan sempat bermukim di Jeddah untuk kemudian masuk ke Makkah; dia dibantu oleh Abou Bakar untuk mengumpulkan berbagai informasi dan data tentang masyarakat Jawi di Hijaz. Hasilnya antara lain adalah Tarajim `Ulama Jawi yang menjadi bahan utama bagi Snouck dalam menulis riwayat sejumlah ulama Jawi dalam karyanya Mekka in the Latter Part of the Nineteenth Century. Aboe Bakar tidak lupa mengingatkan Snouck tentang munculnya al-Hijaz al-Jadid di tempat lain, yang bisa diduga adalah Kairo, di mana iklim intelektual dan aktivisme Islam jauh lebih terbuka dan bebas (Laffan 2000:158).

          Hasilnya bisa diduga. Sejak 1900 murid-murid semakin banyak di Kairo. Maka, pada 1908 pemerintah Belanda mulai mendaftar nama murid-murid Jawi di Kairo. Menurut catatan Belanda, murid-murid Jawi di Kairo datang dari berbagai tempat di Nusantara; termasuk Lampung, Minangkabau, Sambas (sejak 1910), dan Banten (khususnya sejak 1912). Di antara murid-murid ini juga terdapat tiga murid yang merupakan keturunan Hadhrami, yang sebelumnya berencana menuntut ilmu di Galatasaray Istanbul. Bahkan terdapat laporan Belanda yang menyatakan, bahwa sejak 1900 sampai 1915 seorang “Jawa” bernama Syaikh Umar Tabrani mengajar di Al-Azhar. Dia lahir di Tegal pada 1878, putra seorang pedagang Haji Nawawi. Tabrani diduga sampai di Kairo setelah sebelumnya selama empat tahun belajar di Makkah (Laffan 2000:164).

          Dengan terus meningkatnya jumlah murid-murid Jawi, maka riwaq Jawi juga semakin padat dan sesak; pada 1912 dilaporkan terdapat 12 murid Jawi yang tinggal di sana. Hal ini mendorong Isma`il `Abd al-Mutalib, syaikh riwaq Jawi untuk mengajukan permohonan kepada Kementerian Wakaf Mesir untuk menambah kamar. Permintaan yang disampaikan juga kepada Konsul Belanda di Mesir, van Lennep, mendapatkan respon negatif dari Belanda. Meski ada preseden, pemerintah kolonial Italia membangun riwaq di Kairo untuk murid-murid Muslim yang berasal dari wilayah jajahanya di Eretria dan Tripolitania, pemerintah Belanda atas saran Snouck Hurgronje menolak melakukan hal serupa. Menurut Snouck secara sinis adalah “aneh jika pemerintah Belanda sampai mempertimbangkan “murid-murid Jawi yang telah menjadi sampah di tempat pengajaran abad pertengahan seperti Kairo dan Makkah. Jika pemerintah Belanda menyediakan asrama bagi murid-murid Jawi di Kairo, maka sebelumnya Belanda harus juga menyediakan perumahan bagi ribuan masyarakat Jawi di Makkah (dikutip dalam Laffan 2000:168).
         

Pluralisme Wacana Kontemporer

          Kajian Abaza, dst…

Penutup
          Wacana intelektual dan gerakan Islam Indonesia dalam dua dasawarsa terakhir jelas jauh lebih kompleks. Sumber-sumber intelektualisme semakin beragam, tidak lagi terbatas pada Timur Tengah, tetapi juga mencakup sumber-sumber lain.



*Azyumardi Azra, gurubesar sejarah Islam dan rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta



           


Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "ALUMNI TIMUR TENGAH; Peranan dan Kiprah dalam Dinamika Islam di Indonesia"

Post a Comment

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel