Penelitian Matan Hadis Dengan Pendekatan Al-Qur’an
July 29, 2015
Add Comment
Dr. Bustamin M.Si/faquha.com |
Faquha.com - Penelitian
dengan pendekatan ini adalah dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa al-Qur’an
adalah sumber pertama dan utama Islam untuk melaksanakan berbagai ajaran, baik
yang ushul maupun yang furu’ maka al-Qur’an haruslah berfungsi sebagai penentu
hadis yang dapat diterima dan bukan ditinggalkan sekalipun sanadnya shahih.
Hadis yang dapat dibandingkan
dengan al-Qur’an hanyalah hadis yang sudah dipastikan kesahihannya, baik dari
segi sanad maupun dari matan. Oleh karena itu, menurut al-Sya’fi’i tidak
mungkin hadis bertentangan dengan al-Qur’an. Argumen tersebut mungkin hadis
bertentangan bahwa al-Qur’an adalah wahyu Allah swt dan hadis juga wahyu allah
tetapi dalam bentuk lain, maka mustahil sama-sama wahyu saling betentangan.
Cara yang ditempuh mereka untuk
meloloskan matan hadis yang kelihatannya bertentangan dengan teks al-Qur’an
adalah dengan ment’awil atau menerapkan ilmu mukhtalif al-hadis. Oleh karena
itu, kita akan kesulitan menemukan hadis yang dipertentangkan dengan al-Qur’an
dalam buku-buku hadis atau hadis yang sahih dari segi sanad dibatalkan karena
bertentangan dengan al-Qur’an[1].
Hadis yang menjelaskan tentang
mayit disiksa karena tangisan keluarganya terdapat dalam delapan kitab hadis
dengan 37 jalur sanad. Masing-masing dalam Shahih al-Bukhari lima jalur, sahih
muslim tujuh jalur, sunan al-Turmudzi tiga jalur, sunan al-Nasai enam jalur,
sunan Abu Dawud satu jalur, sunan ibn Majah satu jalur, Musnad Ahmad tiga belas
jalur, dan dalam Muwatha Malik satu jalur.
Hadis yang terdapat dalam Sahih
al-Bukhari, terdapat dalam kitab al-Janaiz, bab al-mayyit yua’zab bi bukai
ahlihi
Hadis di atas telah memenuhi
kriteria kesahihan sanad, baik dilihat dari kebersambungan sanad maupun dari
segi kapasitas dan kualitas perawi, dan sanad hadis tersebut memiliki musyahid
dan muttabi. Dengan adanya jalur pendukung, baik pada tingkat sahabat
(musyahid) atau pada tingkat tabi’in (muttabi’) sampai pada tingkat musannf,
maka sanad hadis yang diteliti terlihat bahwa redaksi matan hadis tersebut
memiliki perbedaan satu dengan lainnya, maka dapat disimpulkan bahwa hadis itu
diriwayatkan secara makna.
Sementara menurut Muhammad
al-Ghazali, dari 37 jalur sanad hadis di atas hanya dua jalur yang dapat
diterima, yaitu jalur kelima dan ketujuh yang terdapat dalam Shahi Muslim,
riwayat dari A’isyah, dan yang lainnya harus ditolak. Argumen Muhammad
al-Ghazali ini didasari oleh pendapat ‘Aisyah yang mengkritik sahabat yang
meriwayatkan hadis diatas. Menurut ‘Aisyah riwayat mereka bertentangan dengan
pesan al-Qur’an surat al-an’am: 164
Dalam riwayat Aisyah disebutkan
bahwa mayit yang disiksa di dalam kubur adalah orang Yahudi, bukan orang
mukmin. Karena itu, menurut Muhammad al-Ghazali, metode yang ditempuh oleh
Aisyah dapat dijadikan dasar untuk menguji kesahihan sebuah hadis, yaitu
menghadapkannya dengan nas-nas al-Qur’an[2]
Metode yang ditempuh ‘Aisyah
dalam menentukan kualitas hadis dikemudian oleh ulama hadis dikembangkannya
menjadi metode kritik matan hadis. Pada masa sahabat, kegiatan kritik matan
hadis berupa perbandingan atau mencocokkan matan hadis yang diketahui oleh
seorang sahabat dengan sahabat yang lainnya, atau membandingkannya dengan
al-Qur’an. Apabila hadis yang dipertimbangkan itu sama redaksinya, maka disimpulkan
bahwa hadis itu diriwayatkan bil al-lafz. Sebaliknya apabila redkasi matan
hadis itu memiliki perbedaan dan perbedaan itu tidak menyebabkan perubahan
itulah kemudian yang dikenal dengan hadis riwayat bi al ma’na
Sementara menurut Ali Mustafa
Ya’qub, hadis di atas mempunyai dua versi. Versi Umar dan versi ‘Aisyah. Versi
Umar, seseroang yang mati akan disiksa apabila ia ditangisi keluarganya, baik
yang yang mati itu muslim atau kafir. Versi aisyah, mayat yang disiksa itu
apabila kafir. Sedangkan mayat muslim tidak akan disiksa. Karena baik Umar
maupun Aisyah tidak mungkin berdusta, kedua versi hadis ini tetap diterima
sabagai hadis sahih.
Memahami al-Sunnah sesuai dengan
petunjuk al-Qur’an didasarkan pada argumenasi bahwa alqur’an adalah sumber
utama yang menempati tempat tertinggi dalam keseluruhan sistem dokrinal Islam.
Sedangkan Hadis adalah penjelas atas prinsip-prinsip al-Qur’an. Oleh karena
itu, maka hadis dan signifikansi kontektualnya tidak bisa bertentangan dengan
al-Qur’an[3].
Untuk menerapkan pendapatnya,
Yusuf al-Qardhawi meneliti hadis tentang orang mati diazab karena tangisan
keluarganya. Hadis tersebut terdapat dalam shahh al-bukhari, terdapat dalam
kitab al-janaiz, bab
Hadis di atas telah memenuhi
kriteria kesahihan sanad, baik dilihat dari ketersambungan sanda maupun dari
segi kapasitas dan kualitas perawi, dan sanad hadis tersebut memiliki musyahid
dan muttabi dengan adanya jalur pendukung, baik pada tingkat sahabat (musyahid)
maupun pada tingkat tabi’in sampai pada tingkat musannif, maka sanad hadis
tersebut semakin baik dan kuat. Dari 37 jalur sanad hadis yang diteliti
terlihat bahwa redaksi matan hadis tersebut memiliki perbedaan satu dengan
lainnya, maka dapat disimpulkan bahwa hadis itu diriwayatkan secara makna.
Yusuf al-qardhawi memahim hadis
ini secara harfiyah yang terbukti dengan pernyataan beliau yang merujuk pada
bunyi ayat al-Qur’an surat al-an’am : 164 yang menegaskan bahwa seseorang itu
tidak menanggung dosa orang lain, dosa itu ditanggung masing-masing individu.
Hal ini seperti yang dinyatakan oleh ‘Aisyah, ketika mendengar hadis tersebut.
Kemudian dia menjelaskan alasan penolakannya dengan berkata: “adakah kalian
ingat Firman Allah. Walaa taziru waaziratun
Menurut Yusuf al-Qardhawi, jika
terdapat perbedaan paham diantara fuqaha dalam menyimpulkan makna hadis-hadis,
yang paling utama dan paling dekat dengan kebenaran adalah yang didukung oleh
al-Qur’an. Pendapat tersebut sebenarnya sudah lumrah, namun Yusuf al-Qardhawi
sampai pada tataran praktik.
Dalam hal ini, Yusuf al-Qadhawi
berbeda dengan muhadditsin, seperti dijelaskan dalam bab terdahulu,
muhadditisin menempuh dua cara, pertama, mencari pendukung dari hadis yang
semakna atau hadis yang lain, kedua, menerapkan ilmu mukhtalfi hadis atau
ta’wil hadis.[4]
[4] [4] H. 92 Bustamin, M. Isa H. A. Salam, Metodologi
Kritik Hadis (Jakarta: Rajawali Pers, 2004) cet. I
0 Response to "Penelitian Matan Hadis Dengan Pendekatan Al-Qur’an"
Post a Comment
SILAHKAN KOMENTAR