-->

Ismail atau Ishak yang dikurbankan Nabi Ibrahim Sebuah Catatan Untuk Charles Cutler Torrey

Ismail atau Ishak yang dikurbankan Nabi Ibrahim Sebuah Catatan Untuk Charles Cutler Torrey

Faquha.com - Seluruh kitab suci yang berada dalam rumpun tradisi abrahamik mengisahkan peristiwa penyembelihan Ibrahim terhadap puteranya. Karena itu, umat Islam, Kristiani, dan kaum Yahudi mengimani bahwa penyembelihan itu bukan mitos yang perlu dijebol, tapi fakta yang harus diimani. Hanya para ulama Islam berbeda pandangan tentang siapa yang hendak disembelih di antara putera-putera Ibrahim.

Ada yang menyebut Ismail, anak Ibrahim dari hasil perkawinannya dengan Hajar (Perjanjian Lama) menyebutnya Hagar), isteri kedua. Dan ada pula yang menyatakan Ishaq, anak Ibrahim dari hasil perkawinannya dengan Sarah (Perjanjian Lama menyebutnya Sarai atau Sara), isteri pertama. Perlu diketahui bahwa Ismail lebih tua dari Ishak. Ibnu Katsîr dalam kitab tafsirnya, menjelaskan bahwa Ismail lahir saat Ibrahim berumur 86 tahun, sementara Ishaq lahir ketika Ibrahim berumur 99 tahun.[1] Sedangkan menurut Perjanjian Lama Ishak lahir saat usia Ibrahim 100 tahun.[2]

Al-Qurthubiy dalam al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur`an[3], mengemukakan perihal perbedaan pandangan itu. Ada yang menyatakan bahwa yang diperintahkan untuk dikurbankan adalah Ismail. Pendapat ini dikemukakan oleh sejumlah sahabat Nabi dan tabi'in, seperti Abu Hurairah, Abu Thufail, Amir bin Watsilah, Sa'id ibn al-Musayyab, Yusuf bin Mihran, Rabi' bin Anas, dan Muhammad ibn Ka'b al-Quradhiy.

Pendapat ini konon didasarkan pada sebuah data historis yang menjelaskan bahwa penyembelihan tersebut berlangsung di Mekah (dahulu bernama Bakkah), sehingga yang hendak disembelih tersebut pasti Ismail, karena Ishaq sepanjang hidupnya tidak pernah sampai ke sana. Mereka mengajukan bukti tambahan, tanduk hewan kurban, pengganti Ismail, di gantung di Ka'bah. Sekiranya Ishaq yang mau disembelih, maka tanduk itu kiranya tak digantung di Ka'bah, mungkin di tempat lain seperti Baitul Maqdis. Lepas dari argumen yang disodorkannya, terang bahwa pendapat pertama ini yang paling banyak dipercaya

Sementara yang lain berpendapat bahwa anak yang diminta untuk disembelih, tidak lain, adalah Ishaq bin Ibrahim. Pendapat ini diikuti oleh sejumlah sahabat dan tabi’in. Dari kalangan sahabat tercatat nama-nama seperti Abdullah ibn Abbas, Abdullah bin Mas'ud, Umar bin Khaththab, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Umar, dan Ali bin Abi Thalib. Dari kalangan tabi'in yang berpendapat demikian di antaranya, Alqamah, Sya'biy, Mujahid, Sa'id bin Jubair, Ka'ab al-Ahbar, Qatadah, Masruq, Ikrimah, Qasim bin Abi Bazzah, Atha`, Abdurrahman bin Sabith, al-Zuhry, al-Sadiy, Abdullah bin Abi al-Hudzail, dan Malik bin Anas. Pendapat ini bukan hanya didasarkan pada hadits, tapi juga asumsi kesejarahan.

Kelompok kedua ini mengakui bahwa tanduk domba yang disembelih itu digantung di Ka'bah, tapi-menurut mereka-itu dibawa Ibrahim dari negeri Kan'an, tempat tingal Ishaq.

Sayangnya, sekalipun pendapat kedua ini memiliki argumentasi yang kuat, tetap saja ia kalah populer dengan pendapat pertama. Jangan-jangan, pendapat yang kedua ini tertolak hanya karena ia didukung atau (malah) merujuk pada Perjanjian Lama. Di dalam Perjanjian Lama disebut bahwa Ishaqlah yang akan dikurbankan, dan bukan Ismail. Tuhan berfirman kepada Ibrahim

"Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishaq, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu" (Kejadian, 22: 2). 

Pada sumber inilah, seluruh umat Yahudi dan Nashrani mengacu, sehingga tak terlalu tampak perselisihan pendapat di antara mereka.

Berbeda dengan Perjanjian Lama, Al-Qur’an tidak menuturkan dengan tegas tentang siapa yang hendak disembelih Ibrahim tersebut. Dari sinilah kiranya perbedaan pendapat itu bermula. Mungkin ada yang meng-copy Perjanjian Lama bahwa Ishaqlah yang hendak disembelih. 

Ada yang menyangkal bahwa yang mau disembelih itu Ismail, bukan Ishaq. Anehnya, hadits yang menjelaskan hal ini pun cukup beragam. Suatu waktu Nabi menyebut Ismail. Kala yang lain berkata Ishaq.

Pada hemat saya, ini merupakan bukti betapa tidak mudahnya melakukan verifikasi terhadap sejumlah peristiwa yang terjadi pada zaman lampau. Sejumlah kisah yang disajikan Al-Qur’an tak sepenuhnya bisa dan boleh di cek secara ilmiah, menyangkut akurasi dan validitas datanya. Sebab, terlalu banyak orang yang berkeberatan jika Al-Qur’an diperlakukan secara demikian

Banyak orang menjadi bingung karena tafsir-tafsir sebesar al-Thabari dan al-Nuhas menyebut Ishaq. Sementara tafsir sekaliber Ibn Katsîr dengan tegas menyatakan Ismail. Polemik bermula dari penafsiran ayat berikut.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ

“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”. Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (Q.S. al-Shaffat: 102).

Penafsiran ayat dengan ayat

Para ulama yang mendukung pendapat bahwa yang akan disembelih adalah Ishaq, mengambil kesimpulan berdasar analisa terhadap kata ghulâm halîm dalam ayat 101 surat ash-Shâffât sebagai jawaban atas do’a Nabi Ibrahim dalam ayat 100.

Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh”.

Kemudian Allah memberikan kabar gembira pada Nabi Ibrahim:
فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ
“Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (ghulâm halîm).”

Kata ini ditafsirkan dengan ayat;

فَلَمَّا اعْتَزَلَهُمْ وَمَا يَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَكُلًّا جَعَلْنَا نَبِيًّا
Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishaq, dan Ya’qub. Dan masing-masingnya Kami angkat menjadi nabi. (Q.S. Maryam: 49).

Di sisi lain, pada Surah ash-Shâffât ayat 107 dinyatakan bahwa anak itu ditebus dengan seekor sembelihan besar. Anak yang dimaksud dalam konteks ayat ini adalah anak yang Allah gembirakan Nabi Ibrahim dengan kelahirannya. Sedang yang digembirakan itu (menurut pendapat pertama ini) adalah Ishaq berdasar firman Allah-Nya dalam ayat 112 Surah ash-Shâffât:

“Dan kami beri dia kabar gembira dengan (kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh”.
Memang, penegasan (penyebutan nama) tentang adanya berita gembira kehadiran anak yang diterima Nabi Ibrahim hanya menyangkut Ishâq.[4] 

Lalu dibuatlah rekonstruksi sejarah. Menurut catatan sejarah, Nabi Ibrahim dilahirkan di sekitar Urfa, Harran (sekitar Turki sekarang). Karena ulah umatnya yang mengingkari ajaran yang ia bawa, Nabi Ibrahim menyingkir (‘uzlah) ke negeri Syam. Dalam perjalanan, ia berdoa agar diberi anak yang saleh (Q.S. ash-Shâffât: 100-101). Do’anya dijawab, bahwa ia akan memperoleh anak dan cucu yang bakal jadi nabi, yaitu Ishaq dan Ya’qub (Q.S. Maryam: 49).

Cerita ini digabung dengan dialog bapak-anak dalam surah ash-Shâffât, sehingga disimpulkan bahwa dialog itu adalah ucapan Nabi Ishaq. Kesimpulan ini diperkuat data; bahwa saat menuju negeri Syam, Nabi Ibrahim belum berpoligami. Pernikahan dengan Hajar baru dilangsungkan setelah menetap di Syam. Jadi, saat berita akan memperoleh anak diterima, kemungkinan memperoleh anak hanya dapat terjadi dari Sarah. Maka anak yang dimaksud dalam berita itu adalah Ishaq. Lalu sesuai rangkaian kisah dalam surat ash-Shâffât, anak dalam berita itu diperintah disembelih (dikurbankan).

Jika kelompok pertama menjadikan kata ghulâm halîm sebagai kata kunci, ulama kelompok kedua justru berpegang pada kata “al-shâbirîn” (ayat 102 surah ash-Shâffât ). Penafsirannya merujuk ayat;
وَإِسْمَاعِيلَ وَإِدْرِيسَ وَذَا الْكِفْلِ كُلٌّ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris, dan Zulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar”. (Q.S. al-Anbiya’: 85).

Ayat ini secara gamblang menyebut nama Ismail dalam deretan nabi yang diberi gelar al-shâbirîn. Bagi jumhur ulama, Ismail digelar al-shâbirîn karena sabar menerima perintah sembelih atas dirinya. Ini diperkuat dengan keterangan ayat:

وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا

“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. (Q.S. Maryam: 54).

Ulama kelompok kedua juga melakukan kajian historis. Mereka merujuk fakta sejarah, bahwa penyembelihan terjadi di Mekah, sedangkan Ishaq tidak pernah datang ke Mekah. Maka dipastikan Ismaillah yang disembelih, sebab Ismail hidup di Mekah dan membangun Ka’bah bersama Nabi Ibrahim.

Fakta lain diangkat oleh Ibn Katsîr. Menurutnya, ada kesepakatan bersama di kalangan umat Islam dan ahli kitab; bahwa Ismail lebih tua dari Ishak. Saat Ismail lahir, Ibrahim berusia 86 tahun, adapun Ishaq, lahir kala Ibrahim berusia 99 tahun. Maka berita pertama (kata ghulâm halîm) dalam ayat 101 merujuk kepada anak tertua, yaitu Ismail.[5] Thabâthabâ’I (penulis Tafsir Al-Mîzân) sebagaimana dikutip Quraish Shihab, mengemukakan bahwa redaksi al-Qur’an hampir dapat dikatakan secara tegas menyatakan bahwa yang (akan) disembelih adalah Ismail. Siapa yang memerhatikan ayat-ayat surah ash-Shâffât tidak dapat kecuali menyatakan bahwa kabar gembira tentang kehadiran anak itu adalah anak yang akan dikurbankan, sedang berita gembira yang kedua secara jelas dalam teksnya menyatakan bahwa dia adalah Ishaq dan tentu saja berita gembira yang pertama bukan yang kedua, dan kalau yang kedua sudah pasti Ishaq, tentu menjadi pasti pula bahwa yang pertama adalah Ismail.[6]

Ulama kelompok kedua juga mengkritisi penalaran ulama kelompok pertama. Pertama, logikanya, disembelih berarti mati, lalu bagaimana mungkin ia akan menjadi nabi dan memiliki putera bernama Ya’qub (sebagaimana Firman Allah dalam surah Hûd ayat 71)[7] sementara ia harus disembelih? Jadi, menyatakan Ishaq sebagai anak yang disembelih, berarti mendustakan ayat yang memberitakan Ishaq akan menjadi nabi dan berputerakan Ya’qub. Sebaliknya, membenarkan berita (Hûd ayat 71) ini berarti membohongkan perintah sembelih, atau setidaknya, perintah sembelih terlihat sebagai kepura-puraan belaka. Kedua, ketika Malaikat memberi kabar tentang kelahiran Ishaq (QS. Al-Hijr; 53), 

Allah menyebutnya dengan sebutan        إنا نبشرك بغلام عليم  sedangkan dalam ash-Shâffât ayat 101 di atas dengan sebutan فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ  ini berarti menunjuk kepada anak yang lain yaitu Ismail, karena hanya dialah yang disifati dengan şâdiq al-wa`d dan min al-şâbirîn yang sepadan dengan sifat halîm.

Logika yang dikemukakan ulama kelompok kedua ini kelihatan cukup mengena, tapi menurut Sa‘id ibn Jubair (dari kelompok pertama), berita kenabian dan kelahiran Ya’qub dari Ishaq tidak mendustakan peristiwa penyembelihan. Sebab kedua peristiwa ini tidak dikaitkan dengan waktu, jadi bisa saja penyembelihan berlangsung di masa depan setelah Ishak menjadi nabi dan punya anak.[8] Intinya, pada saat diwahyukan, perintah menyembelih tidak terkesan sebagai perintah pura-pura.

Sampai di sini, hujah dan penalaran dari kedua kelompok ulama terlihat sama kuat sehingga sulit menentukan sikap. Satu hal yang belum terjawab, ungkapan wa basysyarnâhu bi Ishâq, dalam ayat 112 surah ash-Shâffât, bukankah itu mendukung penafsiran kata ghulâm halîm sebagai Ishak karena masih dalam satu surat?

Hal ini dijawab oleh al-Syanqithi berdasar redaksi ayat-ayat dalam surat ash-Shâffât sendiri. Setelah ayat 100 yang berisi doa Nabi Ibrahim (rabbi hab lî min al-shâlihîn), dilanjutkan dengan jawaban (fa basysyarnâhu bi ghulâm halîm ). Lalu pada ayat 112 yang memberitakan tentang Ishaq (wa basysyarnâhu bi Ishâq), redaksi ayat menggunakan huruf ‘athaf (huruf waw yang bermakna; dan). Ini menunjukkan bahwa objek berita yang kedua, berbeda dari objek berita pertama. Berhubung pada berita yang kedua (ayat 112) disebut nama Ishaq secara jelas, maka berita pertama (ayat 101) dapat dipastikan bukan Ishaq.

Bagi al-Syanqithi, menafsirkan kata ghulâm halîm sebagai Ishaq tidak sah, sebab sebutan nama Ishaq pada pemberitaan ayat 112 mengakibatkan pengulangan yang tidak berfaedah. Pengulangan sia-sia seperti ini tidak mungkin terjadi dalam kalam Allah, oleh karena itu, redaksi ayat menjadi sangat jelas, bahwa kata ghulâm halîm dalam ayat 101, ditujukan kepada Ismail.

Jika penafsiran ini diikuti, maka Nabi Ibrahim menerima dua pemberitaan, pertama berita akan mendapat anak yang akan disembelih, yaitu Ismail. Kedua, berita akan mendapat anak seorang nabi yang nantinya berputerakan Nabi Ya’qub, yaitu Ishaq. Dengan demikian, ayat 49 surat Maryam, dan ayat 71 surat Hûd, merupakan penjelasan tersendiri tentang berita kelahiran Nabi Ishaq. Sementara surat ash-Shâffât, merupakan versi lengkap.[9]

Peran Sahabat dan Tâbi`în dalam Penafsiran

Perlu diingat bahwa di dalam Islam, ada kecenderungan umum untuk mengatakan bahwa suatu berita ataupun ajaran akan diakui kebenarannya manakala bisa dipastikan bahwa hal itu bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Kalaupun Nabi, misalnya, tidak membahasnya maka para sahabatlah yang akan menjadi rujukan setelahnya, mengingat merekalah orang-orang terdekat dan sezaman dengan Nabi. Posisi sahabat dengan demikian mempunyai peran penting dalam pengembangan pemahaman ajaran Islam selanjutnya. Hal ini didukung dengan adanya predikat yang diberikan kepada mereka dalam ilmu hadis dengan keadilan mereka (kulluhum `udūl) secara mutlak. Setelah para sahabat, tâbi`în adalah “alternatif” rujukan yang kedua.

Dalam kaitannya dengan pembahasan ayat di atas (Q.S. ash-Shâffât: 102), para sahabat dan beberapa tâbi`în mempunyai andil dalam memberi penjelasan tentang siapa sebenarnya putra Ibrahim yang disembelih kepada generasi sesudahnya. Untuk melihat sejauh mana keterlibatan mereka, maka berikut ini tabel yang berisi para sahabat dan tâbi`în yang dijadikan sandaran dua pendapat yang berbeda dalam beberapa tafsîr bi al-ma’tsûr berikut ini:

Al-Jâmi` al-Bayân
(Ibn Jarir al-Ţabari)[10]
Tafsîr al-Qur`ân al-`Azîm
(Ibn Katsîr)[11]
Al-Durr al-Mansûr fi Tafsīr bi al-Ma’tsûr
(As-Suyûţi)[12]
Al-Bahr al-Muhîţ
(Abu Hayyan)[13]
I
S
H
A
K
1.Al-`Abbas ibn `Abd al-Muţallib
2. Ibn `Abbas
3. Ka`b al-Ahbar
4. masruq
5.`Ubaid ibn `Umair
6.`Abdullah ibn `Ubaid ibn`Umair
7.Ibn Abi al-Huzail
8.Ibn Shihab
9.`Amr ibn Abi Sufyan.
10. Abu Hurairah
1. Abi Maisarah
2. IbnAbiHuzail
3.`Abdullah ibn `Ubaid ibn `Umair
4. Abi al-Ahwaş
5. IbnMas`ud
6.`Ikrimah
7. Ibn `Abbas
8. Al-`Abbas ibn Abi Muţallib
9. Sa`id ibn Jabir
10. Mujahid
11. Al-Sha`bi
12.`Ubaid ibn `Umair
13. Zaid ibn Aslam
14.Abdullah Ibn Syaqiq
15. Ka`b al-Ahbar
16. Al-Qaşim
17. Makhul
18.`Uthman ibn Abi Haďir
19. Al-Sudi
20. Al-Hasan
21. Qatadah


1.Qatadah
2.Ibn Abbas
3. Ikrimah
4. `Ubaid ibn `Amir
5.Abu Sa`id al-Khudri
6.IbnMas`ud
7.Jabir
8. Al-Sudi
1.Al-Abbas
2.Ibn Mas`ud
3. Ali
4. `Aţa’
5.Ikrimah
6.Ka`b al-Ahbar
7.`Ubaid ibn `Amir
8.Ibn`Abbas
I
S
M
A
I
L
1. Ibn `Umar
2. Ibn`Abbas
3.`Amir
4. Al-Sha`bi
5.Yusuf ibn Mihran
6.Mujahid
7.Al-Hasan
8.Muhammad ibn Ka`b
9.Al-Şanaji
1. Ibn `Abbas
2. Ibn `Umar
3. Mujahid
4. Al-Sha`bi
5. Al-Hasanal-Başri
6. Muhammad ibn Ka`b
1. Al-Sha`bi
2. Ibn Abbas
3.`Aţa’ ibn 4. Rabah
5. Sa`id ibn Musayyab
6. Sa`id ibn 7. Jabir
8. Abdullah ibn Salam
9.Muhammad ibn Ka`b
1. Ibn Abbas
2. Ibn `Umar
3. Mu`awiyah
4. Muhammad ibn Ka`b
5. Al-Sha`bi
6. Al-Hasan
7. Mujahid

Pandangan Seorang Orientalis

Charles Cutler Torrey, seorang profesor di bidang Bahasa Semit pada Universitas Yale, Amerika Serikat, pernah membahas masalah tersebut dalam sebuah essaynya yang berjudul The Jewish Foundation of Islam. Di dalam sub-bahasannya tentang Ibrâhîm and Ismâ`il, Torrey mengatakan pandangannya, berikut ini adalah terjemahannya:

Cerita tentang ujian pengorbanan yang al-Qur’an berikan dalam surat 37: 99-113, penting untuk pengetahuan kita terhadap prilaku Muhammad terhadap orang-orang Yahudi pada masa awal karirnya di Mekkah. Ibrâhîm dikabari tentang kelahiran anaknya (ayat 101). Anak itu tumbuh dan diminta untuk dikorbankan oleh perintah Tuhan (ayat 102-107). Setelah itu (ayat 112) kelahiran Ishâk diramalkan pada Ibrâhîm. Hal ini dirasa oleh Snouck memperlihatkan bahwa Muhammad dibuatnya bingung dan tidak yakin berkenaan dengan cerita itu –sampai dengan ayat 113 dapat dianggap sebagai penyisipan. Akan tetapi sang Nabi jauh dari keadaan bingung, di sini justru terlihat baik pengetahuannya tentang cerita Perjanjian Lama, maupun kebijaksanaan praktisnya. Mengapa dia tidak memberi nama putra tertua Ibrâhîm itu? Jawabannya jelas. Muhammad sadar sepenuhnya, bahkan sebelum dia berdakwah di publik, bahwa anak Ibrâhîm yang pertama, Ismâ`il, adalah bapak bangsa Arab. Dalam cerita Yahudi, ia terbilang bukan figur yang berarti, bukan seorang anak yang berjasa sebagai pendiri agama besar. Nabi Arab itu, yang melembagakan agamanya berpusat di Arab, melihat kesempatannya untuk memanfaatkan situasi dan kondisi. Adalah sangat berarti menggunakan tiga ayat tersebut dengan cerita singkatnya (101-103) untuk memperlihatkan bahwa anak Ibrâhîm telah dikabarkan sebelumnya untuk pengorbanan yang diharapkan dan sepenuhnya disetujui-sebuah sentuhan paling penting yang tidak diimbangi keahlian dalam cerita biblikal. Ismâ`il adalah benar “Muslim”.Dia menghapuskan namanya, tetapi tidak semua. Sebutan Ishâk diperkenalkan setelah kandungan formulasi (ayat 109-111) yang mengikuti langsung keseluruhan tema, tanpa keterangan waktu (seperti tsumma); jadi dia sama sekali terhindar dari kesulitan yang tidak penting baik dengan pihak Yahudi yang meupakan para gurunya, maupun dengan pihak sebagian kecil pengikutnya. Keseluruhan paragraf merupakan sebuah karya besar akan kecerdasan pandangan ke depannya, suatu kualitas yang besar kemungkinan selalu kita anggap remeh dalam mampelajari metodenya dalam menyesuaikan cerita biblical.[14]
Dari uraiannya di atas, ada beberapa hal yang dapat dipahami, Yaitu:

Ø  Torrey, seperti kebayakan sarjana Barat, hanya menganggap al-Qur’an sebagai dokumen sejarah yang sangat besar intervensi Nabi Muhammad di dalamnya. Penekanan hal ini jelas terlihat dari kalimat-kalimat yang mengekspresikan betapa mudahnya Nabi Muhammad mengubah redaksi al-Qur’an untuk menyesuaikan strategi da`wahnya.

Ø  Tidak disebutkannya nama putra Ibrahim yang dikorbankan adalah satu contoh dari poin pertama. Hal tersebut merupakan strategi Nabi Muhammad untuk bisa diterima masyarakat Arab dan Yahudi yang tinggal berdampingan di sana. Karena mungkin, jika nama Ismail yang disebut, orang Yahudi tidak akan mau menerima Nabi Muhammad. Sebaliknya jika Ishaq yang disebut maka orang Arab yang tidak akan menerima Nabi Muhammad. Makanya ayat tersebut dibuatnya abstrak dan bersifat interpretable.

Ø  Interaksi Nabi dengan orang Yahudi cukup intens terbukti dengan diperhitungkannya mereka sebagai sesama anggota masyarakat, bahkan salah satu objek da`wahnya.


Ø  Pengakuan bahwa Nabi memiliki pengetahuan tentang tradisi Yahudi, nenek moyang mereka, dan Perjanjian Lamanya. Pengaruh tradisi Yahudi telah mempengaruhi kebijakan praktis Nabi dalam menyebarkan ajaran Islam.

Marilah kita lihat sejauh mana analisis Torrey bisa dipertanggungjawabkan.

Kisah Penyembelihan Versi Yahudi

Dalam Perjanjian Lama, secara tegas dinyatakan bahwa yang disembelih adalah Ishaq, tetapi informasinya bertolak belakang, khususnya menyangkut Ismail, sekali beliau dipuji sebagai “bapak dari umat yang besar”[15], dan di kali lain dikecam dan diburuk-burukkan.[16] Satu hal yang sangat aneh pula bahwa Perjanjian Lama sama sekali tidak menyinggung soal pembangunan kembali Ka’bah oleh Nabi Ibrahim dan Ismail, padahal ini adalah satu peristiwa besar dan wujudnya tetap bertahan hingga saat ini. Hal ini mengesankan bahwa ada unsur subjektivitas dalam uraian Perjanjian Lama menyangkut Ismail.

Kisah penyembelihan putra Ibrahim tertera dalam kitab Kejadian: 22.

“Setelah semuanya itu Allah mencoba Abraham. Ia berfirman kepadanya: “Abraham.” Sahutnya: “Ya, Tuhan.” Firman-Nya: “Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishaq, pergilah ke tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”[17]

Catatan Analisis

Menanggapi pandangan Torrey di atas, berikut poin-poin yang ingin penulis sampaikan:

            Umat Islam meyakini (sesuai dengan teks al-Qur’an dan al-Hadits) bahwa Islam adalah lanjutan/penyempurna bagi agama-agama terdahulu (Yahudi dan Kristen), jadi sangatlah wajar bila Nabi Muhammad mempunyai wawasan tentang kedua agama pendahulunya tersebut. Hal ini diperoleh Nabi Muhammad baik dari wahyu Allah ataupun dari hasil interaksi nabi dengan orang Yahudi dan Kristen (ayah kandung istri nabi, Shafiyah binti Huyayy, adalah seorang pimpinan kelompok Yahudi, demikian pula istri beliau Maria al-Qibtiyah mempunyai latar belakang Kristen Koptik dari Mesir), bahkan jauh sebelum diangkat menjadi nabipun sudah terjadi kontak antara Rasulullah dengan pendeta Buhaira (Yahudi) dan Waraqah ibn Naufal (Kristen)[18], yang tak lain adalah sepupu sang istri tercinta Nabi, Khadijah ra.

Namun sangatlah sulit bagi seorang Muslim melepaskan keyakinannya bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah, sebesar apapun keterlibatan dan kesadaran aktif Nabi Muhammad di dalamnya. Jadi mengenai ayat yang tidak secara eksplisit menyebut putra Ibrahim yang dikorbankan, kalaupun benar analisis Torrey bahwa itu adalah demi kepentingan lancarnya penyebaran da`wah Islam, hal itu bukanlah inisiatif milik pribadi Nabi tetapi memang merupakan “setting-an” Allah.

Terhindarnya konflik dua arah, Nabi Muhammad vs Bangsa Arab atau Nabi vs Yahudi –yang disebabkan tidak disebutnya Ismail atau Ishaq—kala itu bukanlah tujuan ayat, tetapi hanyalah hikmah. Sebab Nabi tidaklah akan hidup selamanya. Setelah wafatnya kelak dua bangsa itu tetaplah dua bangsa yang berbeda sampai kapanpun. Dan al-Qur’anpun selanjutnyan bukanlah hanya untuk bangsa Arab. Konflik di atas memang terhindarkan, tetapi “konflik” dua bangsa tadi tetap ada demi memperebutkan ketinggian dan kesucian masing-masing moyang mereka, Ishaq dan Ismail.

Kenyataannya, tidak semua Muslim Arab secara otomatis memahami ayat tersebut sebagai Ismail sesuai dengan naluri primordial mereka –kalau memang itu tujuan al-Qur’an. Tidak sedikit Muslim Arab yang masih mempercayai para ahl al-kitāb yang mengatakan Ishaqlah yang dikorbankan –yang justru bertentangan dengan rasa kesukuannya yang bermoyang Ismail. Ini terbukti dalam tabel, banyak sahabat yang mengadopsi riwayat yang memihak Ishaq dengan mengorbankan rasa kesukuan mereka. Meskipun banyak pula yang berpendapat sebaliknya. Namun penulis beranggapan aqwāl sahabat dan tābi`īn di atas sulit dilacak mana yang paling absah, sebab: a) semuanya hanya bersandar kepada pemahaman sahabat yang tidak “steril” dari pengaruh lingkungannya, meskipun ada satu hadis yang marfu` kepada Nabi, tetapi itupun belum diteliti ulang sanadnya,[19] b) adanya pertentangan pendapat yang bersandar pada orang yang sama, yaitu Ibn Abbas, sahabat yang sangat terpercaya di bidang tafsīr. Pendapat Ibn Abbas juga ada yang bertentangan dengan pendapat Ibn Mas`ud yang juga terkenal sangat dekat dengan Nabi dan al-Qur’an, c) adanya perbedaan pendapat di antara ahl al-kitāb sendiri yang telah masuk Islam, dalam hal ini sahabat Abdullah ibn Salam dan seorang tâbi`în Ka`b al-Ahbar.

Sah-sah saja menafsirkan Ismail atau Ishaq dalam ayat tersebut, karena tak satupun keterangan historis yang benar-benar valid atau 100% meyakinkan tentang kehidupan mereka dan ayahnya. Cerita Perjanjian Lama sendiri yang seringkali dijadikan acuan telah mengalami pertentangan. Dalam hal ini saja, di dalam Kitab Kejadian: 16, Ismail dilahirkan pada waktu usia Ibrahim mencapai 86 tahun dan dalam kitab Kejadian: 21 Ishaq dilahirkan pada waktu Ibrahim berusia 100 tahun. Dari sini berarti Ismail lebih tua 14 tahun dari Ishaq. Nah, sepanjang 14 tahun ini Ismaillah satu-satunya putra Ibrahim sedangkan Ishaq tidak pernah menjadi putra tunggal Ibrahim. Hal ini bertentangan ketika Tuhan menyebut Ishaq dengan putra tunggal Ibrahim dalam Kejadian : 22 di atas (penyebutan tanah Moria juga menjadi sangat bias semangat tribalisme).

Betapapun dan siapa pun yang dikurbankan, yang jelas Ismail dan Ishaq adalah dua orang nabi suci yang keduanya dipuji oleh Allah SWT, sedang uraian tentang penyembelihan ini lebih banyak bertujuan menunjukkan keutamaan Nabi Ibrahim, sehingga, jika demikian, sama saja apakah Ismail atau Ishaq, keduanya adalah putra beliau dan hasil didikannya. Akhirnya penulis justru beranggapan bahwa tidak ditulisnya secara eksplisit nama putra Ibrahim yang dikorbankan lebih berorientasi kepada bahwa bukan siapanya yang penting, tetapi apanya yang penting. Ibrah apa yang terkandung dalam kisah itu adalah yang patut digali labih jauh. Ayat itu justru mengajak kita untuk tidak “meributkan” soal tersebut. Penyebutan nama ketika menafsirkan hanyalah untuk mempermudah –sebagai wasilah—sampainya pesan al-Qur’an pada maksud dan tujuannya. Wallahu a’alam bishshawab. (Oleh Yayan Bunyamin, S.Th.I)

"Selamat sejahtera atas Ibrahim. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh, dia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman”.
(QS. ash-Shâffât: 109-111)





[1] Ibn Katsîr, Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, (Beirut: Dâr al-Kutub, 1999) Juz 4 h. 16.
[2] Kejadian, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia: 1994), h. 20.
[3] Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Qurthuby, Al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’an, (Mesir: Dâr al-Hadîs, 2002) Juz 8. h.87-88.
[4] M. Quraish Shihab, Tafsîr Al-Mishbâh, (Jakarta: Lentera Hati, 2011) Volume 11, h. 285.
[5] Ibn Katsîr, Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, (Beirut: Dâr al-Kutub, 1999) Juz 4 h. 16.
[6] M. Quraish Shihab, Tafsîr Al-Mishbâh, (Jakarta: Lentera Hati, 2011) Volume 11, h. 286.
[7]Dan isterinya berdiri (dibalik tirai) lalu dia tersenyum, Maka kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Ya'qub”. (QS. Hûd: 71)
[8] al-Qurthuby, Al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’an, (Mesir: Dâr al-Hadîs, 2002) Juz 8. h. 88.
[9] Asy-Syanqithy, Adwâ al-Bayân Fî Idhâm al-Qur’an, (Beirut: ‘Alam al-Kutub, t.t) Juz 5. h. 77.
[10] Ibn Jarîr al-Ţabari, Jāmi` al-Bayān fi Tafsîr al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009) Juz 22. h. 880-881.
[11] Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`an al-‘Adzîm, (Beirut: Dâr al-Kutub, 1999) Juz 4 h. 17.
[12] Jalâl al-Dîn al-Suyûthi, Al-Durr al-Mansūr fi Tafsīr bi al-Ma’tsūr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983) Juz 12. h. 429.
[13] Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhīţ, (Beirut: Dâr Ihya al-Turats al-‘Arabi, 1990) Juz 7. h. 368.
[14] Charles Cutler Torrey, “The Jewish Fouondation of Islam”, dalam The Origin of The Koran, edited by Ibn Warraq, (New York: Prometheus Books, 1998), h.317-318.
[15] Kitab Kejadian: 22: 18, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1995), h.21.
[16] Kitab Kejadian: 16; 11, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1995), h.15.
[17] Untuk lebih lengkapnya lihat Alkitab, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1995), h.21-22
[18] M. Husain Haikal menyebutkan bahwa Waraqah adalah orang pertama yang menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Arab. Lihat Muhammad Husain Haikal, Hayât Muhammad, (Kairo: Dâr al-Ma’arif, t.t). h. 122.
[19] Hadis riwayat al-Şanaji tentang sebutan ibn al-dhabihain pada Nabi, lihat Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur`an al-‘Adzîm, (Beirut: Dâr al-Kutub, 1999) Juz 4 h. 18.


Berlangganan update artikel terbaru via email:

1 Response to "Ismail atau Ishak yang dikurbankan Nabi Ibrahim Sebuah Catatan Untuk Charles Cutler Torrey"

  1. Terima kasih telah menarasikan pengetahuan di atas dengan baik.
    Semoga indah, informatif, dan bernas.

    ReplyDelete

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel