Ismail atau Ishak yang dikurbankan Nabi Ibrahim Sebuah Catatan Untuk Charles Cutler Torrey
March 6, 2015
1 Comment
Ismail atau Ishak yang dikurbankan Nabi Ibrahim Sebuah Catatan Untuk Charles Cutler Torrey |
Faquha.com - Seluruh
kitab suci yang berada dalam rumpun tradisi abrahamik mengisahkan peristiwa
penyembelihan Ibrahim terhadap puteranya. Karena itu, umat Islam, Kristiani,
dan kaum Yahudi mengimani bahwa penyembelihan itu bukan mitos yang perlu
dijebol, tapi fakta yang harus diimani. Hanya para ulama Islam berbeda
pandangan tentang siapa yang hendak disembelih di antara putera-putera Ibrahim.
Ada
yang menyebut Ismail, anak Ibrahim dari hasil perkawinannya dengan Hajar
(Perjanjian Lama) menyebutnya Hagar), isteri kedua. Dan ada pula yang
menyatakan Ishaq, anak Ibrahim dari hasil perkawinannya dengan Sarah (Perjanjian
Lama menyebutnya Sarai atau Sara), isteri pertama. Perlu diketahui bahwa Ismail
lebih tua dari Ishak. Ibnu Katsîr dalam kitab tafsirnya, menjelaskan bahwa Ismail
lahir saat Ibrahim berumur 86 tahun, sementara Ishaq lahir
ketika Ibrahim berumur 99 tahun.[1] Sedangkan
menurut Perjanjian Lama Ishak lahir saat usia Ibrahim 100 tahun.[2]
Al-Qurthubiy
dalam al-Jâmi' li Ahkâm al-Qur`an[3],
mengemukakan perihal perbedaan pandangan itu. Ada yang menyatakan bahwa yang
diperintahkan untuk dikurbankan adalah Ismail. Pendapat ini dikemukakan oleh
sejumlah sahabat Nabi dan tabi'in, seperti Abu Hurairah, Abu Thufail, Amir bin
Watsilah, Sa'id ibn al-Musayyab, Yusuf bin Mihran, Rabi' bin Anas, dan Muhammad
ibn Ka'b al-Quradhiy.
Sementara
yang lain berpendapat bahwa anak yang diminta untuk disembelih, tidak lain,
adalah Ishaq bin Ibrahim. Pendapat ini diikuti oleh sejumlah sahabat dan tabi’in.
Dari kalangan sahabat tercatat nama-nama seperti Abdullah ibn Abbas, Abdullah
bin Mas'ud, Umar bin Khaththab, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Umar, dan Ali
bin Abi Thalib. Dari kalangan tabi'in yang berpendapat demikian di antaranya,
Alqamah, Sya'biy, Mujahid, Sa'id bin Jubair, Ka'ab al-Ahbar, Qatadah, Masruq,
Ikrimah, Qasim bin Abi Bazzah, Atha`, Abdurrahman bin Sabith, al-Zuhry,
al-Sadiy, Abdullah bin Abi al-Hudzail, dan Malik bin Anas. Pendapat ini bukan hanya didasarkan pada
hadits, tapi juga asumsi kesejarahan.
Kelompok kedua ini mengakui bahwa tanduk domba yang
disembelih itu digantung di Ka'bah, tapi-menurut mereka-itu dibawa Ibrahim dari
negeri Kan'an, tempat tingal Ishaq.
Sayangnya,
sekalipun pendapat kedua ini memiliki argumentasi yang kuat, tetap saja ia
kalah populer dengan pendapat pertama. Jangan-jangan, pendapat yang kedua ini
tertolak hanya karena ia didukung atau (malah) merujuk pada Perjanjian Lama. Di
dalam Perjanjian Lama disebut bahwa Ishaqlah yang akan dikurbankan, dan bukan
Ismail. Tuhan berfirman kepada Ibrahim
"Ambillah
anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishaq, pergilah ke tanah
Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah satu
gunung yang akan Kukatakan kepadamu" (Kejadian, 22: 2).
Pada sumber
inilah, seluruh umat Yahudi dan Nashrani mengacu, sehingga tak terlalu tampak
perselisihan pendapat di antara mereka.
Berbeda
dengan Perjanjian Lama, Al-Qur’an tidak menuturkan dengan tegas tentang siapa
yang hendak disembelih Ibrahim tersebut. Dari sinilah kiranya perbedaan
pendapat itu bermula. Mungkin ada yang meng-copy Perjanjian Lama bahwa Ishaqlah
yang hendak disembelih.
Ada yang menyangkal bahwa yang mau disembelih itu
Ismail, bukan Ishaq. Anehnya, hadits yang menjelaskan hal ini pun cukup
beragam. Suatu waktu Nabi menyebut Ismail. Kala yang lain berkata Ishaq.
Pada
hemat saya, ini merupakan bukti betapa tidak mudahnya melakukan verifikasi
terhadap sejumlah peristiwa yang terjadi pada zaman lampau. Sejumlah kisah yang
disajikan Al-Qur’an tak sepenuhnya bisa dan boleh di cek secara ilmiah,
menyangkut akurasi dan validitas datanya. Sebab, terlalu banyak orang yang
berkeberatan jika Al-Qur’an diperlakukan secara demikian
Banyak orang menjadi bingung karena
tafsir-tafsir sebesar al-Thabari dan al-Nuhas menyebut Ishaq. Sementara tafsir
sekaliber Ibn Katsîr dengan tegas menyatakan Ismail.
Polemik bermula dari penafsiran ayat berikut.
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ
يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا
تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ
مِنَ
الصَّابِرِينَ
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha
bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat
dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”. Ia
menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya
Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (Q.S. al-Shaffat: 102).
Penafsiran
ayat dengan ayat
Para ulama yang mendukung pendapat
bahwa yang akan disembelih adalah Ishaq, mengambil kesimpulan berdasar analisa
terhadap kata ghulâm halîm dalam ayat 101 surat ash-Shâffât sebagai
jawaban atas do’a Nabi Ibrahim dalam ayat 100.
“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh”.
“Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh”.
Kemudian Allah memberikan kabar
gembira pada Nabi Ibrahim:
فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ
“Maka Kami beri dia kabar gembira
dengan seorang anak yang amat sabar (ghulâm halîm).”
Kata ini ditafsirkan dengan ayat;
فَلَمَّا اعْتَزَلَهُمْ وَمَا
يَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ وَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَكُلًّا
جَعَلْنَا نَبِيًّا
“Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka
dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishaq,
dan Ya’qub. Dan masing-masingnya Kami angkat menjadi nabi. (Q.S. Maryam:
49).
Di sisi lain, pada Surah ash-Shâffât ayat
107 dinyatakan
bahwa anak itu ditebus dengan seekor sembelihan besar. Anak yang dimaksud dalam
konteks ayat ini adalah anak yang Allah gembirakan Nabi Ibrahim dengan
kelahirannya. Sedang yang digembirakan itu (menurut pendapat pertama ini)
adalah Ishaq
berdasar firman Allah-Nya dalam ayat 112 Surah ash-Shâffât:
“Dan kami beri dia kabar gembira dengan
(kelahiran) Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh”.
Memang, penegasan (penyebutan nama) tentang
adanya berita gembira kehadiran anak yang diterima Nabi Ibrahim hanya
menyangkut Ishâq.[4]
Lalu dibuatlah rekonstruksi sejarah.
Menurut catatan sejarah, Nabi Ibrahim dilahirkan di sekitar Urfa, Harran
(sekitar Turki sekarang). Karena ulah umatnya yang mengingkari ajaran yang ia
bawa, Nabi Ibrahim menyingkir (‘uzlah) ke negeri Syam. Dalam perjalanan,
ia berdoa agar diberi anak yang saleh (Q.S. ash-Shâffât: 100-101). Do’anya
dijawab, bahwa ia akan memperoleh anak dan cucu yang bakal jadi nabi, yaitu Ishaq
dan Ya’qub (Q.S. Maryam: 49).
Cerita ini digabung dengan dialog bapak-anak
dalam surah ash-Shâffât, sehingga disimpulkan bahwa dialog itu adalah ucapan
Nabi Ishaq. Kesimpulan ini diperkuat data; bahwa saat menuju negeri Syam, Nabi
Ibrahim belum berpoligami. Pernikahan dengan Hajar baru dilangsungkan setelah
menetap di Syam. Jadi, saat berita akan memperoleh anak diterima, kemungkinan
memperoleh anak hanya dapat terjadi dari Sarah. Maka anak yang dimaksud dalam
berita itu adalah Ishaq. Lalu sesuai rangkaian kisah dalam surat ash-Shâffât,
anak dalam berita itu diperintah disembelih (dikurbankan).
Jika kelompok pertama menjadikan
kata ghulâm halîm sebagai kata kunci, ulama kelompok kedua justru
berpegang pada kata “al-shâbirîn” (ayat 102 surah ash-Shâffât ). Penafsirannya merujuk ayat;
وَإِسْمَاعِيلَ وَإِدْرِيسَ وَذَا
الْكِفْلِ كُلٌّ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris,
dan Zulkifli. Semua mereka termasuk orang-orang yang sabar”. (Q.S. al-Anbiya’: 85).
Ayat ini secara gamblang menyebut
nama Ismail dalam deretan nabi yang diberi gelar al-shâbirîn.
Bagi jumhur ulama, Ismail digelar al-shâbirîn karena sabar menerima perintah sembelih atas dirinya. Ini
diperkuat dengan keterangan ayat:
وَاذْكُرْ فِي الْكِتَابِ
إِسْمَاعِيلَ إِنَّهُ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُولًا نَبِيًّا
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail
(yang tersebut) di dalam Al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar
janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. (Q.S. Maryam: 54).
Ulama kelompok kedua juga melakukan
kajian historis. Mereka merujuk fakta sejarah, bahwa penyembelihan terjadi di
Mekah, sedangkan Ishaq tidak pernah datang ke Mekah. Maka dipastikan Ismaillah
yang disembelih, sebab Ismail hidup di Mekah dan membangun Ka’bah bersama Nabi
Ibrahim.
Fakta lain diangkat oleh Ibn Katsîr.
Menurutnya, ada kesepakatan bersama di kalangan umat Islam dan ahli kitab;
bahwa Ismail lebih tua dari Ishak. Saat Ismail lahir, Ibrahim berusia 86 tahun,
adapun Ishaq, lahir kala Ibrahim berusia 99 tahun. Maka berita pertama (kata ghulâm
halîm) dalam ayat 101 merujuk kepada anak tertua, yaitu Ismail.[5]
Thabâthabâ’I (penulis Tafsir Al-Mîzân) sebagaimana dikutip Quraish Shihab, mengemukakan
bahwa redaksi al-Qur’an hampir dapat dikatakan secara tegas menyatakan bahwa
yang (akan) disembelih adalah Ismail. Siapa yang memerhatikan ayat-ayat surah
ash-Shâffât tidak dapat kecuali menyatakan bahwa kabar gembira tentang
kehadiran anak itu adalah anak yang akan dikurbankan, sedang berita gembira
yang kedua secara jelas dalam teksnya menyatakan bahwa dia adalah Ishaq dan
tentu saja berita gembira yang pertama bukan yang kedua, dan kalau yang kedua
sudah pasti Ishaq, tentu menjadi pasti pula bahwa yang pertama adalah Ismail.[6]
Ulama kelompok kedua juga
mengkritisi penalaran ulama kelompok pertama. Pertama, logikanya, disembelih berarti mati, lalu bagaimana mungkin
ia akan menjadi nabi dan memiliki putera bernama Ya’qub (sebagaimana Firman
Allah dalam surah Hûd ayat 71)[7]
sementara ia harus disembelih? Jadi, menyatakan Ishaq sebagai anak yang
disembelih, berarti mendustakan ayat yang memberitakan Ishaq akan menjadi nabi dan
berputerakan Ya’qub. Sebaliknya, membenarkan berita (Hûd ayat 71) ini berarti
membohongkan perintah sembelih, atau setidaknya, perintah sembelih terlihat
sebagai kepura-puraan belaka. Kedua, ketika
Malaikat memberi kabar tentang kelahiran Ishaq (QS. Al-Hijr; 53),
Allah
menyebutnya dengan sebutan إنا نبشرك بغلام عليم sedangkan
dalam ash-Shâffât ayat 101 di atas dengan sebutan فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ ini berarti menunjuk kepada anak yang lain
yaitu Ismail, karena hanya dialah yang disifati dengan şâdiq al-wa`d dan
min al-şâbirîn yang sepadan dengan sifat halîm.
Logika yang dikemukakan ulama
kelompok kedua ini kelihatan cukup mengena, tapi menurut Sa‘id ibn Jubair (dari
kelompok pertama), berita kenabian dan kelahiran Ya’qub dari Ishaq tidak
mendustakan peristiwa penyembelihan. Sebab kedua peristiwa ini tidak dikaitkan
dengan waktu, jadi bisa saja penyembelihan berlangsung di masa depan setelah
Ishak menjadi nabi dan punya anak.[8]
Intinya, pada saat diwahyukan, perintah menyembelih tidak terkesan sebagai
perintah pura-pura.
Sampai di sini, hujah dan penalaran
dari kedua kelompok ulama terlihat sama kuat sehingga sulit menentukan sikap. Satu
hal yang belum terjawab, ungkapan wa
basysyarnâhu bi Ishâq, dalam ayat 112 surah ash-Shâffât, bukankah itu
mendukung penafsiran kata ghulâm halîm sebagai Ishak karena masih dalam
satu surat?
Hal ini dijawab oleh al-Syanqithi
berdasar redaksi ayat-ayat dalam surat ash-Shâffât sendiri. Setelah ayat 100
yang berisi doa Nabi Ibrahim (rabbi hab
lî min al-shâlihîn), dilanjutkan dengan jawaban (fa basysyarnâhu bi ghulâm halîm
). Lalu pada ayat 112 yang memberitakan tentang Ishaq (wa basysyarnâhu bi Ishâq), redaksi ayat menggunakan huruf ‘athaf (huruf waw yang bermakna; dan).
Ini menunjukkan bahwa objek berita yang kedua, berbeda dari objek berita
pertama. Berhubung pada berita yang kedua (ayat 112) disebut nama Ishaq secara
jelas, maka berita pertama (ayat 101) dapat dipastikan bukan Ishaq.
Bagi al-Syanqithi, menafsirkan kata ghulâm
halîm sebagai Ishaq tidak sah, sebab sebutan nama Ishaq pada pemberitaan
ayat 112 mengakibatkan pengulangan yang tidak berfaedah. Pengulangan sia-sia
seperti ini tidak mungkin terjadi dalam kalam Allah, oleh karena itu, redaksi
ayat menjadi sangat jelas, bahwa kata ghulâm halîm dalam ayat 101,
ditujukan kepada Ismail.
Jika penafsiran ini diikuti, maka
Nabi Ibrahim menerima dua pemberitaan, pertama berita akan mendapat anak yang
akan disembelih, yaitu Ismail. Kedua, berita akan mendapat anak seorang nabi
yang nantinya berputerakan Nabi Ya’qub, yaitu Ishaq. Dengan demikian, ayat 49
surat Maryam, dan ayat 71 surat Hûd, merupakan penjelasan tersendiri tentang
berita kelahiran Nabi Ishaq. Sementara surat ash-Shâffât, merupakan versi
lengkap.[9]
Peran
Sahabat dan Tâbi`în
dalam Penafsiran
Perlu diingat
bahwa di dalam Islam, ada kecenderungan umum untuk mengatakan bahwa suatu
berita ataupun ajaran akan diakui kebenarannya manakala bisa dipastikan bahwa
hal itu bersumber dari Nabi Muhammad SAW. Kalaupun Nabi, misalnya, tidak membahasnya maka para
sahabatlah yang akan menjadi rujukan setelahnya, mengingat merekalah
orang-orang terdekat dan sezaman dengan Nabi. Posisi sahabat dengan demikian
mempunyai peran penting dalam pengembangan pemahaman ajaran Islam selanjutnya.
Hal ini didukung dengan adanya predikat yang diberikan kepada mereka dalam ilmu
hadis dengan keadilan mereka (kulluhum
`udūl) secara mutlak. Setelah para sahabat, tâbi`în adalah
“alternatif” rujukan yang kedua.
Dalam kaitannya
dengan pembahasan ayat di atas (Q.S. ash-Shâffât: 102), para sahabat dan
beberapa tâbi`în mempunyai andil dalam memberi penjelasan tentang siapa
sebenarnya putra Ibrahim yang disembelih kepada generasi sesudahnya. Untuk melihat sejauh mana
keterlibatan mereka, maka berikut ini tabel yang berisi para sahabat dan tâbi`în yang dijadikan sandaran dua pendapat
yang berbeda dalam beberapa tafsîr bi al-ma’tsûr berikut ini:
Al-Jâmi` al-Bayân
(Ibn Jarir al-Ţabari)[10]
|
Tafsîr al-Qur`ân al-`Azîm
(Ibn Katsîr)[11]
|
Al-Durr
al-Mansûr fi Tafsīr bi al-Ma’tsûr
(As-Suyûţi)[12]
|
Al-Bahr al-Muhîţ
(Abu Hayyan)[13]
|
|
I
S
H
A
K
|
1.Al-`Abbas ibn `Abd al-Muţallib
2. Ibn `Abbas
3. Ka`b al-Ahbar
4. masruq
5.`Ubaid ibn `Umair
6.`Abdullah ibn `Ubaid ibn`Umair
7.Ibn Abi al-Huzail
8.Ibn Shihab
9.`Amr ibn Abi Sufyan.
10. Abu Hurairah
|
1. Abi Maisarah
2. IbnAbiHuzail
3.`Abdullah ibn `Ubaid ibn `Umair
4. Abi al-Ahwaş
5. IbnMas`ud
6.`Ikrimah
7. Ibn `Abbas
8. Al-`Abbas ibn Abi Muţallib
9. Sa`id ibn Jabir
10. Mujahid
11. Al-Sha`bi
12.`Ubaid ibn `Umair
13. Zaid ibn Aslam
14.Abdullah Ibn Syaqiq
15. Ka`b al-Ahbar
16. Al-Qaşim
17. Makhul
18.`Uthman ibn Abi Haďir
19. Al-Sudi
20. Al-Hasan
21. Qatadah
|
1.Qatadah
2.Ibn Abbas
3. Ikrimah
4. `Ubaid ibn `Amir
5.Abu Sa`id al-Khudri
6.IbnMas`ud
7.Jabir
8. Al-Sudi
|
1.Al-Abbas
2.Ibn Mas`ud
3. Ali
4. `Aţa’
5.Ikrimah
6.Ka`b al-Ahbar
7.`Ubaid ibn `Amir
8.Ibn`Abbas
|
I
S
M
A
I
L
|
1. Ibn `Umar
2. Ibn`Abbas
3.`Amir
4. Al-Sha`bi
5.Yusuf ibn Mihran
6.Mujahid
7.Al-Hasan
8.Muhammad ibn Ka`b
9.Al-Şanaji
|
1. Ibn `Abbas
2. Ibn `Umar
3. Mujahid
4. Al-Sha`bi
5. Al-Hasanal-Başri
6. Muhammad ibn Ka`b
|
1. Al-Sha`bi
2. Ibn Abbas
3.`Aţa’ ibn 4. Rabah
5. Sa`id ibn Musayyab
6. Sa`id ibn 7. Jabir
8. Abdullah ibn Salam
9.Muhammad ibn Ka`b
|
1. Ibn Abbas
2. Ibn `Umar
3. Mu`awiyah
4. Muhammad ibn Ka`b
5. Al-Sha`bi
6. Al-Hasan
7. Mujahid
|
Pandangan
Seorang Orientalis
Charles Cutler Torrey, seorang
profesor di bidang Bahasa Semit pada Universitas Yale, Amerika Serikat, pernah
membahas masalah tersebut dalam sebuah essaynya yang berjudul The Jewish Foundation
of Islam. Di dalam sub-bahasannya tentang Ibrâhîm and Ismâ`il,
Torrey mengatakan pandangannya, berikut ini adalah terjemahannya:
Cerita tentang ujian pengorbanan
yang al-Qur’an berikan dalam surat 37: 99-113, penting untuk pengetahuan kita
terhadap prilaku Muhammad terhadap orang-orang Yahudi pada masa awal karirnya
di Mekkah. Ibrâhîm dikabari tentang
kelahiran anaknya (ayat 101). Anak itu tumbuh dan diminta untuk dikorbankan
oleh perintah Tuhan (ayat 102-107). Setelah itu (ayat 112) kelahiran Ishâk
diramalkan pada Ibrâhîm. Hal
ini dirasa oleh Snouck memperlihatkan bahwa Muhammad dibuatnya bingung dan
tidak yakin berkenaan dengan cerita itu –sampai dengan ayat 113 dapat dianggap
sebagai penyisipan. Akan tetapi sang Nabi jauh dari keadaan bingung, di sini
justru terlihat baik pengetahuannya tentang cerita Perjanjian Lama, maupun
kebijaksanaan praktisnya. Mengapa dia tidak memberi nama putra tertua Ibrâhîm itu? Jawabannya jelas.
Muhammad sadar sepenuhnya, bahkan sebelum dia berdakwah di publik, bahwa anak Ibrâhîm yang pertama, Ismâ`il, adalah
bapak bangsa Arab. Dalam cerita Yahudi, ia terbilang bukan figur yang berarti,
bukan seorang anak yang berjasa sebagai pendiri agama besar. Nabi Arab itu,
yang melembagakan agamanya berpusat di Arab, melihat kesempatannya untuk
memanfaatkan situasi dan kondisi. Adalah sangat berarti menggunakan tiga ayat
tersebut dengan cerita singkatnya (101-103) untuk memperlihatkan bahwa anak Ibrâhîm telah dikabarkan sebelumnya
untuk pengorbanan yang diharapkan dan sepenuhnya disetujui-sebuah sentuhan
paling penting yang tidak diimbangi keahlian dalam cerita biblikal. Ismâ`il
adalah benar “Muslim”.Dia menghapuskan namanya, tetapi tidak semua. Sebutan
Ishâk diperkenalkan setelah kandungan formulasi (ayat 109-111) yang mengikuti
langsung keseluruhan tema, tanpa keterangan waktu (seperti tsumma); jadi dia sama sekali
terhindar dari kesulitan yang tidak penting baik dengan pihak Yahudi yang
meupakan para gurunya, maupun dengan pihak sebagian kecil pengikutnya.
Keseluruhan paragraf merupakan sebuah karya besar akan kecerdasan pandangan ke
depannya, suatu kualitas yang besar kemungkinan selalu kita anggap remeh dalam
mampelajari metodenya dalam menyesuaikan cerita biblical.[14]
Dari uraiannya di atas, ada beberapa
hal yang dapat dipahami, Yaitu:
Ø Torrey, seperti kebayakan sarjana
Barat, hanya menganggap al-Qur’an sebagai dokumen sejarah yang sangat besar
intervensi Nabi Muhammad di dalamnya. Penekanan hal ini jelas terlihat dari
kalimat-kalimat yang mengekspresikan betapa mudahnya Nabi Muhammad mengubah
redaksi al-Qur’an untuk menyesuaikan strategi da`wahnya.
Ø Tidak disebutkannya nama putra
Ibrahim yang dikorbankan adalah satu contoh dari poin pertama. Hal tersebut
merupakan strategi Nabi Muhammad untuk bisa diterima masyarakat Arab dan Yahudi
yang tinggal berdampingan di sana. Karena mungkin, jika nama Ismail yang
disebut, orang Yahudi tidak akan mau menerima Nabi Muhammad. Sebaliknya jika
Ishaq yang disebut maka orang Arab yang tidak akan menerima Nabi Muhammad.
Makanya ayat tersebut dibuatnya abstrak dan bersifat interpretable.
Ø Interaksi Nabi dengan orang Yahudi
cukup intens terbukti dengan diperhitungkannya mereka sebagai sesama
anggota masyarakat, bahkan salah satu objek da`wahnya.
Ø Pengakuan bahwa Nabi memiliki
pengetahuan tentang tradisi Yahudi, nenek moyang mereka, dan Perjanjian
Lamanya. Pengaruh tradisi Yahudi telah mempengaruhi kebijakan praktis Nabi
dalam menyebarkan ajaran Islam.
Marilah kita lihat sejauh mana
analisis Torrey bisa dipertanggungjawabkan.
Kisah Penyembelihan Versi Yahudi
Dalam Perjanjian
Lama, secara tegas dinyatakan bahwa yang disembelih adalah Ishaq, tetapi
informasinya bertolak belakang, khususnya menyangkut Ismail, sekali beliau
dipuji sebagai “bapak dari umat yang besar”[15], dan di kali
lain dikecam dan diburuk-burukkan.[16] Satu hal yang
sangat aneh pula bahwa Perjanjian Lama sama sekali tidak menyinggung soal
pembangunan kembali Ka’bah oleh Nabi Ibrahim dan Ismail, padahal ini adalah
satu peristiwa besar dan wujudnya tetap bertahan hingga saat ini. Hal ini mengesankan bahwa ada unsur
subjektivitas dalam uraian Perjanjian Lama menyangkut Ismail.
Kisah penyembelihan putra Ibrahim
tertera dalam kitab Kejadian: 22.
“Setelah semuanya itu Allah mencoba
Abraham. Ia berfirman kepadanya: “Abraham.” Sahutnya: “Ya, Tuhan.” Firman-Nya:
“Ambillah anakmu yang tunggal itu, yang engkau kasihi, yakni Ishaq, pergilah ke
tanah Moria dan persembahkanlah dia di sana sebagai korban bakaran pada salah
satu gunung yang akan Kukatakan kepadamu.”[17]
Catatan Analisis
Menanggapi
pandangan Torrey di atas, berikut poin-poin yang ingin penulis sampaikan:
Umat Islam meyakini (sesuai dengan
teks al-Qur’an dan al-Hadits) bahwa Islam adalah lanjutan/penyempurna bagi
agama-agama terdahulu (Yahudi dan Kristen), jadi sangatlah wajar bila Nabi
Muhammad mempunyai wawasan tentang kedua agama pendahulunya tersebut. Hal
ini diperoleh Nabi Muhammad baik dari wahyu Allah ataupun dari hasil interaksi
nabi dengan orang Yahudi dan Kristen (ayah kandung istri nabi, Shafiyah binti
Huyayy, adalah seorang pimpinan kelompok Yahudi, demikian pula istri beliau
Maria al-Qibtiyah mempunyai latar belakang Kristen Koptik dari Mesir), bahkan
jauh sebelum diangkat menjadi nabipun sudah terjadi kontak antara Rasulullah
dengan pendeta Buhaira (Yahudi) dan Waraqah ibn Naufal (Kristen)[18],
yang tak lain adalah sepupu sang istri tercinta Nabi, Khadijah ra.
Namun
sangatlah sulit bagi seorang Muslim melepaskan keyakinannya bahwa al-Qur’an
adalah kalam Allah, sebesar apapun keterlibatan dan kesadaran aktif Nabi
Muhammad di dalamnya. Jadi mengenai ayat yang tidak secara eksplisit menyebut
putra Ibrahim yang dikorbankan, kalaupun benar analisis Torrey bahwa itu adalah
demi kepentingan lancarnya penyebaran da`wah Islam, hal itu bukanlah inisiatif
milik pribadi Nabi tetapi memang merupakan “setting-an” Allah.
Terhindarnya konflik dua arah, Nabi Muhammad vs Bangsa
Arab atau Nabi vs Yahudi –yang disebabkan tidak disebutnya Ismail atau Ishaq—kala
itu bukanlah tujuan ayat, tetapi hanyalah hikmah. Sebab
Nabi tidaklah akan hidup selamanya. Setelah wafatnya kelak dua bangsa itu
tetaplah dua bangsa yang berbeda sampai kapanpun. Dan al-Qur’anpun selanjutnyan
bukanlah hanya untuk bangsa Arab. Konflik di atas memang terhindarkan, tetapi
“konflik” dua bangsa tadi tetap ada demi memperebutkan ketinggian dan kesucian
masing-masing moyang mereka, Ishaq dan Ismail.
Kenyataannya,
tidak semua Muslim Arab secara otomatis memahami ayat tersebut sebagai Ismail
sesuai dengan naluri primordial mereka –kalau memang itu tujuan al-Qur’an.
Tidak sedikit Muslim Arab yang masih mempercayai para ahl al-kitāb yang
mengatakan Ishaqlah yang dikorbankan –yang justru bertentangan dengan rasa kesukuannya
yang bermoyang Ismail. Ini terbukti dalam tabel, banyak sahabat yang mengadopsi
riwayat yang memihak Ishaq dengan mengorbankan rasa kesukuan mereka. Meskipun
banyak pula yang berpendapat sebaliknya. Namun penulis beranggapan aqwāl
sahabat dan tābi`īn di atas sulit dilacak mana yang paling absah, sebab: a)
semuanya hanya bersandar kepada pemahaman sahabat yang tidak “steril” dari
pengaruh lingkungannya, meskipun ada satu hadis yang marfu` kepada Nabi, tetapi
itupun belum diteliti ulang sanadnya,[19] b)
adanya pertentangan pendapat yang bersandar pada orang yang sama, yaitu Ibn
Abbas, sahabat yang sangat terpercaya di bidang tafsīr. Pendapat Ibn Abbas juga
ada yang bertentangan dengan pendapat Ibn Mas`ud yang juga terkenal sangat
dekat dengan Nabi dan al-Qur’an, c) adanya perbedaan pendapat di antara ahl al-kitāb
sendiri yang telah masuk Islam, dalam hal ini sahabat Abdullah ibn Salam dan seorang
tâbi`în Ka`b al-Ahbar.
Sah-sah
saja menafsirkan Ismail atau Ishaq dalam ayat tersebut, karena tak satupun
keterangan historis yang benar-benar valid atau 100% meyakinkan tentang
kehidupan mereka dan ayahnya. Cerita Perjanjian Lama sendiri yang seringkali
dijadikan acuan telah mengalami pertentangan. Dalam hal ini saja, di dalam
Kitab Kejadian: 16, Ismail dilahirkan pada waktu usia Ibrahim mencapai 86 tahun
dan dalam kitab Kejadian: 21 Ishaq dilahirkan pada waktu Ibrahim berusia 100
tahun. Dari sini berarti Ismail lebih tua 14 tahun dari Ishaq. Nah, sepanjang
14 tahun ini Ismaillah satu-satunya putra Ibrahim sedangkan Ishaq tidak pernah
menjadi putra tunggal Ibrahim. Hal ini bertentangan ketika Tuhan menyebut Ishaq
dengan putra tunggal Ibrahim dalam Kejadian : 22 di atas (penyebutan tanah
Moria juga menjadi sangat bias semangat tribalisme).
Betapapun
dan siapa pun yang dikurbankan, yang jelas Ismail dan Ishaq adalah dua orang
nabi suci yang keduanya dipuji oleh Allah SWT, sedang uraian tentang
penyembelihan ini lebih banyak bertujuan menunjukkan keutamaan Nabi Ibrahim,
sehingga, jika demikian, sama saja apakah Ismail atau Ishaq, keduanya adalah
putra beliau dan hasil didikannya. Akhirnya penulis justru beranggapan bahwa
tidak ditulisnya secara eksplisit nama putra Ibrahim yang dikorbankan lebih
berorientasi kepada bahwa bukan siapanya yang penting, tetapi apanya yang
penting. Ibrah apa yang terkandung dalam kisah itu adalah yang patut digali
labih jauh. Ayat itu justru mengajak kita untuk tidak “meributkan” soal
tersebut. Penyebutan nama ketika menafsirkan hanyalah untuk mempermudah
–sebagai wasilah—sampainya pesan al-Qur’an pada maksud dan tujuannya. Wallahu a’alam bishshawab. (Oleh Yayan Bunyamin, S.Th.I)
"Selamat
sejahtera atas Ibrahim. Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang
yang berbuat baik. Sungguh, dia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman”.
(QS. ash-Shâffât: 109-111)
[1]
Ibn Katsîr,
Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, (Beirut:
Dâr
al-Kutub, 1999) Juz 4 h. 16.
[2]
Kejadian, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia: 1994), h. 20.
[3]
Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad al-Qurthuby, Al-Jâmi’ Li Ahkâm al-Qur’an, (Mesir: Dâr al-Hadîs,
2002) Juz 8. h.87-88.
[4]
M. Quraish Shihab, Tafsîr Al-Mishbâh,
(Jakarta: Lentera Hati, 2011) Volume 11, h. 285.
[5]
Ibn Katsîr, Tafsir al-Qur`an al-‘Adzim, (Beirut: Dâr al-Kutub, 1999) Juz 4 h.
16.
[6]
M. Quraish Shihab, Tafsîr Al-Mishbâh,
(Jakarta: Lentera Hati, 2011) Volume 11, h. 286.
[7]
“Dan isterinya berdiri (dibalik tirai)
lalu dia tersenyum, Maka kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang
(kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Ya'qub”. (QS. Hûd: 71)
[8]
al-Qurthuby, Al-Jâmi’
Li Ahkâm al-Qur’an, (Mesir: Dâr al-Hadîs,
2002) Juz 8. h. 88.
[10]
Ibn Jarîr
al-Ţabari, Jāmi` al-Bayān fi Tafsîr al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2009) Juz 22. h. 880-881.
[11]
Ibn Katsîr, Tafsîr
al-Qur`an al-‘Adzîm,
(Beirut: Dâr al-Kutub, 1999) Juz 4 h. 17.
[12]
Jalâl
al-Dîn
al-Suyûthi,
Al-Durr al-Mansūr fi Tafsīr bi al-Ma’tsūr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1983) Juz 12. h.
429.
[13]
Abu Hayyan al-Andalusi, Al-Bahr al-Muhīţ, (Beirut: Dâr Ihya al-Turats al-‘Arabi,
1990) Juz 7. h. 368.
[14]
Charles Cutler Torrey, “The Jewish
Fouondation of Islam”, dalam The
Origin of The Koran, edited by Ibn Warraq, (New York: Prometheus Books,
1998), h.317-318.
[15]
Kitab Kejadian: 22: 18, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1995), h.21.
[16]
Kitab Kejadian: 16; 11, (Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1995), h.15.
[17]
Untuk lebih lengkapnya lihat Alkitab,
(Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 1995), h.21-22
[18]
M. Husain Haikal menyebutkan bahwa Waraqah adalah orang pertama yang
menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Arab. Lihat Muhammad Husain Haikal, Hayât
Muhammad, (Kairo: Dâr al-Ma’arif, t.t). h. 122.
[19]
Hadis riwayat al-Şanaji tentang sebutan ibn al-dhabihain pada Nabi, lihat Ibn
Katsîr, Tafsîr
al-Qur`an al-‘Adzîm,
(Beirut: Dâr al-Kutub, 1999) Juz 4 h. 18.
Terima kasih telah menarasikan pengetahuan di atas dengan baik.
ReplyDeleteSemoga indah, informatif, dan bernas.