-->

Tafsir Sufistik; Telaah Kitab Misyaktul Anwar #2

Faquha.com - Metode tafsir sufistik yang digunakan al-Ghazâlî dalam karya Miskatul anwar yang telah membuka wawasan kita tentang tafsir, yang selama ini cenderung hanya kepada tafsir lahiriyah saja.

Al-Ghazâlî, dengan ini, ingin mengatakan bahwa selain makna lahiriyah, al-Qur’ân juga perlu ditafsirkan secara batiniyah. Karena menurut beliau Nabi pernah bersabda bahwasanya “al-Qur’ân memiliki makna lahir dan batin, batas dan tempat mendaki (al-mathla’) Kalau kita hanya menafsirkannya secara lahiriah, maka kita akan menjadi kaum literalis, dan ini tidak cukup. Demikian juga kalau kita hanya memakai makna batiniah, kita akan menjadi kaum batini, yang juga tidak ia sukai. Adapun jalan yang benar adalah yang memperhatikan kedua makna tersebut.

Kalau kita simak tafsir Misykât al-Anwâr, kita tahu bahwa ia adalah tafsir batini. Tetapi al-Ghazâlî meminta kita untuk tidak beranggapan bahwa ia memperbolehkan penghapusan makna lahiriah sehingga ia akan berkata, misalnya, bahwa Nabi Musa tidak punya dua terompah dan bahwa ia tidak mendengar Tuhan yang memerintahkannya untuk melepas kedua teropahnya. Tidak, itu terlarang!
Yang benar, menurut al-Ghazâlî adalah, “dengan perintah melepaskan dua terompah, Musa memahaminya sebagai melepaskan dua dunia. Dengan begitu Musa melaksanakan perintah tersebut, secara lahiriah dengan melepaskan terompah yang digunakannya, dan secara batiniah dengan melepaskan dua dunia tersebut. Inilah yang disebut “crossing over” yakni menyeberang dari yang satu kepada yang lain dari makna lahir ke rahasia

Dengan demikian ia tidak meninggalkan kedua makna dari ayat tersebut. Mengambil hanya makna batinnya saja, adalah seperti kaum Batiniyah dengan hanya satu mata dan bisa melihat hanya satu dari dua dunia tanpa mengakui kesejajaran antara keduanya atau memahami maknanya. Demikian juga sama kelirunya mereka yang menafikan makna batin al-Qur’ân, seperti kaum zhahiri. Yang sempurna adalah yang menggabungkan kedua makna tersebut.

Selain terhadap ayat Qur’an, Tafsir sufistik juga bisa diterapkan pada hadis Nabi. Al-Ghazâlî sendiri memberi contoh sebagai berikut. Orang-orang berbeda pendapat, demikian al-Ghazâlî menulis, ketika mendengar sabda Nabi yang berbunyi. “Malaikat tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada seekor anjing” tetapi membawa masuk anjing ke dalam rumahnya. Ia berkata: “Makna lahiriah bukan yang dimaksud. Tetapi yang dimaksud adalah singkirkan anjing kemarahan dari rumah hatimu, karena ia akan mencegah masuknya pengetahuan, yang berasal dari cahaya-cahaya malaikat, karena kemarahan adalah roh jahat (ghaul) dari daya rasional.


Seseorang mengambil makna lahiriahnya, maka ia berkata kepadanya: “Anjing bukan menjadi anjing karena bentuk luarnya, tetapi karena esensinya, yaitu sifat memangsa dan keganasannya. Jika kita perlu menjaga rumah kita, yang merupakan tempat beristirahat seseorang dan tubuh, dari bentuk anjing, maka akan lebih perlu lagi untuk menjaga rumah hati --tempat bertirahnya substansi sejati khas manusia-- dari kejahatan yang serupa dengan anjing.” Dengan demikian, “saya,” kata al-Ghazâlî, “telah menggabungkan makna yang lahir dan makna batinnya.”




Berlangganan update artikel terbaru via email:

1 Response to "Tafsir Sufistik; Telaah Kitab Misyaktul Anwar #2"

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel