Tafsir Sufistik; Telaah Kitab Misyaktul Anwar #2
February 10, 2015
1 Comment
Faquha.com - Metode tafsir sufistik yang digunakan al-Ghazâlî
dalam karya Miskatul anwar yang telah membuka wawasan kita tentang tafsir, yang selama ini
cenderung hanya kepada tafsir lahiriyah saja.
Al-Ghazâlî, dengan ini, ingin mengatakan bahwa
selain makna lahiriyah, al-Qur’ân juga perlu ditafsirkan secara batiniyah.
Karena menurut beliau Nabi pernah bersabda bahwasanya “al-Qur’ân memiliki makna
lahir dan batin, batas dan tempat mendaki (al-mathla’) Kalau kita hanya menafsirkannya secara
lahiriah, maka kita akan menjadi kaum literalis, dan ini tidak cukup. Demikian
juga kalau kita hanya memakai makna batiniah, kita akan menjadi kaum batini,
yang juga tidak ia sukai. Adapun jalan yang benar adalah yang memperhatikan
kedua makna tersebut.
Kalau kita simak tafsir Misykât al-Anwâr, kita tahu bahwa ia adalah tafsir batini. Tetapi al-Ghazâlî meminta kita untuk tidak beranggapan bahwa ia memperbolehkan penghapusan makna lahiriah sehingga ia akan berkata, misalnya, bahwa Nabi Musa tidak punya dua terompah dan bahwa ia tidak mendengar Tuhan yang memerintahkannya untuk melepas kedua teropahnya. Tidak, itu terlarang!
Yang benar, menurut al-Ghazâlî adalah, “dengan
perintah melepaskan dua terompah, Musa memahaminya sebagai melepaskan dua
dunia. Dengan begitu Musa melaksanakan perintah tersebut, secara lahiriah
dengan melepaskan terompah yang digunakannya, dan secara batiniah dengan
melepaskan dua dunia tersebut. Inilah yang disebut “crossing over” yakni
menyeberang dari yang satu kepada yang lain dari makna lahir ke rahasia
Dengan demikian ia tidak meninggalkan kedua
makna dari ayat tersebut. Mengambil hanya makna batinnya saja, adalah seperti
kaum Batiniyah dengan hanya satu mata dan bisa melihat hanya satu dari dua
dunia tanpa mengakui kesejajaran antara keduanya atau memahami maknanya.
Demikian juga sama kelirunya mereka yang menafikan makna batin al-Qur’ân,
seperti kaum zhahiri. Yang sempurna adalah yang menggabungkan kedua makna
tersebut.
Selain terhadap ayat Qur’an, Tafsir sufistik juga bisa diterapkan pada hadis Nabi. Al-Ghazâlî sendiri memberi contoh sebagai berikut. Orang-orang berbeda pendapat, demikian al-Ghazâlî menulis, ketika mendengar sabda Nabi yang berbunyi. “Malaikat tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada seekor anjing” tetapi membawa masuk anjing ke dalam rumahnya. Ia berkata: “Makna lahiriah bukan yang dimaksud. Tetapi yang dimaksud adalah singkirkan anjing kemarahan dari rumah hatimu, karena ia akan mencegah masuknya pengetahuan, yang berasal dari cahaya-cahaya malaikat, karena kemarahan adalah roh jahat (ghaul) dari daya rasional.
Selain terhadap ayat Qur’an, Tafsir sufistik juga bisa diterapkan pada hadis Nabi. Al-Ghazâlî sendiri memberi contoh sebagai berikut. Orang-orang berbeda pendapat, demikian al-Ghazâlî menulis, ketika mendengar sabda Nabi yang berbunyi. “Malaikat tidak akan masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada seekor anjing” tetapi membawa masuk anjing ke dalam rumahnya. Ia berkata: “Makna lahiriah bukan yang dimaksud. Tetapi yang dimaksud adalah singkirkan anjing kemarahan dari rumah hatimu, karena ia akan mencegah masuknya pengetahuan, yang berasal dari cahaya-cahaya malaikat, karena kemarahan adalah roh jahat (ghaul) dari daya rasional.
Seseorang mengambil makna
lahiriahnya, maka ia berkata kepadanya: “Anjing bukan menjadi anjing karena
bentuk luarnya, tetapi karena esensinya, yaitu sifat memangsa dan keganasannya.
Jika
kita perlu menjaga rumah kita, yang merupakan tempat beristirahat seseorang dan
tubuh, dari bentuk anjing, maka akan lebih perlu lagi untuk menjaga rumah hati
--tempat bertirahnya substansi sejati khas manusia-- dari kejahatan yang serupa
dengan anjing.” Dengan demikian, “saya,” kata al-Ghazâlî, “telah menggabungkan
makna yang lahir dan makna batinnya.”
bagus, terimakasih atas tulisannya
ReplyDelete