-->

Tafsir Sufistik; Studi Atas Kitab Misykât al-Anwâr Karya al-Ghazâlî

Studi Atas Kitab Misykât al-Anwâr Karya al-Ghazâlî
Faquha.site - Sarjana-sarjana Muslim telah banyak menghasilkan karya-karya agung di bidang tafsir, dari masa klasik, seperti Jâmi‘ al-Bayân fi Tafsîr al-Qur’ân karangan al-Thabarî, Mafâtîh al-Ghayb karangan Fakhr al-Din al-Râzî, dan al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq al-Ta’wîl karangan Mahmûd al-Zamakhsyâ...rî, hingga modern, seperti Fî Zhilâl al-Qur’ân karangan Sayyid Quthb, Tafsîr al-Marâghî karangan Musthafâ al-Marâghî, Tafsîr al-Mîzân karangan ‘Allamah al-Thabathaba’i, dan di Indonesia sendiri seperti Tafsir al-Mishbâh, karya Prof. Dr. M. Quraish Shihab. Berbagai metoda dan pendekatan telah dilakukan oleh mereka, dan telah memperkaya secara signifikan, khazanah penafsiran al-Qur’ân yang kita miliki selama ini.

Dalam artikel ini, saya ingin mencoba membahas sebuah tafsir al-Qur’ân yang bercorak sufistik, yang di sini akan diwakili oleh Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâlî (w. 1111) dalam kitabnya yang berjudul Misykât al-Anwâr.[1] Kajian ini, menurut saya, penting sebagai sebuah upaya memperluas wawasan para santri tafsir al-Qur’ân, dengan menyadari bahwa al-Qur’ân ternyata bisa dan telah didekati dari berbagai perspektif. Memang selama ini tafsir al-Qur’ân pada umumnya dilakukan secara tekstual, yakni dengan mengambil makna lahiriah ayat-ayat yang sedang dikajinya. Namun, seperti yang akan saya tunjukkan nanti, ternyata keserjanaan Islam telah melahirkan juga karya-karya yang berusaha menyingkap makna batin yang tersembunyi dari ayat-ayat tertentu al-Qur’an.

Misykât al-Anwâr adalah salah satu contoh yang representative dari karya jenis ini. Selain itu, Misykât al-Anwâr adalah kitab, yang bukan saja besar karena nama pengarangnya Abu Hâmid al-Ghazâlî, tetapi juga karena pengaruhnya yang sangat menentukan atas para pemikir Muslim yang dating kemudian, khususnya para filosof Isyrâqî[2] dan Sufi.

Sekilas tentang Kitab Misykât al-Anwâr

Kitab Misykât al-Anwâr adalah kitab mistik-filosofis karya Imam al-Ghazâlî, untuk seseorang yang ia sapa sebagai "saudara yang mulia" (al-akh al-karîm),[3] yang dipandang khawwâs (orang-orang khusus) oleh beliau. Pada masa itu, pembagian orang-orang kepada kategori ‘awwâm (orang kebanyakan) dan khawwâsh (orang-orang khusus) telah berlaku umum. Bahkan al-Ghazâlî memberi kategori ketiga, yaitu khawwâsh a-khawwâsh.[4] Menurut al-Ghazâlî, karya-karya mistik-filosofis seperti Misykât al-Anwâr ini, tidak boleh tembus ke tangan awam, tetapi tidak boleh juga disembunyikan kepada orang khawwash, apalagi khawwash-al-khawwash. Nah karena orang yang bertanya tentang ini, masuk kategori khawwash (bahkan mungkin khawwash al-khawwash), maka al-Ghazâlî tidak berkeberatan, dan lalu memutuskan untuk menulis karya ini untuknya. Karena kepada orang seperti itu kebenaran tidak boleh ditutup-tutupi.

Hal lain yang menarik dari Misykât al-Anwâr ini, adalah sifatnya yang sangat filosofis. Tidak seperti dalam kitab Ihya’ ‘Ulûm al-Dîn, di mana ia banyak berbicara tentang hati --terutama kitab ‘Ajâ’ib al-Qulûb-nya-- dalam karya ini, al-Ghazâlî berbicara dengan begitu respeknya tentang daya rasional, yang disebut akal. Akal, misalnya dipandang lebih cocok disebut sebagai cahaya dibanding dengan indera. Bahkan ia menyebut akal sebagai contoh dari cahaya Tuhan.[5] Kenyataan ini telah menimbulkan kecurigaan di kalangan para ahli al-Ghazâlî, khususnya Montgomery Watt, kalau-kalau Misykât al-Anwâr bukan karya asli al-Ghazâlî, tetapi sebuah karya orang lain yang dinisbatkan kepadanya.[6] Terlepas dari benar-tidaknya, atau, otentik-tidaknya karya ini sebagai karya al-Ghazâlî, namun dari sudut isinya karya ini tetap sangat menarik, baik untuk para sarjana tafsir, tasawuf, maupun filsafat Islam. Di sini pengaruh teori psikologi filosofis seperti yang dikembangkan Ibn Sina[7] cukup kentara.

Poin terakhir yang ingin disampaikan berkenaan dengan kitab ini adalah berkaitan dengan struktur atau komposisi dari karya ini. Pada dasarnya karya ini dibagi ke dalam dua bagian besar; pertama berkenaan dengan tafsir cahaya sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-Nûr [24]: 35 yang terkenal itu. Di sini, bahkan judul buku Misykât al-Anwâr itu sendiri, menurut saya, terinspirasi oleh ayat ini, yang memuat di dalamnya kata “misykât” (yang artinya ceruk/niche) sebagai salah satu cahaya yang diberikan Tuhan kepada manusia, di samping yang lainnya. Bagian kedua berkenaan dengan hijab yang ada mengantarai Tuhan dengan hamba-Nya, dan ini merupakan penjelasan atau tafsir sufistik terhadap sebuah hadits Nabi yang mengatakan “Allah memiliki tujuh puluh hijab cahaya dan kegelapan. Kalau hijab ini tersingkap kepada mereka niscaya keagungan wajah-Nya akan membakar siapa saja yang matanya memandang-Nya.”[8] Namun, dalam bagian pertama, sebelum ia berbicara secara terperinci tentang tafsir cahaya ini, al-Ghazâlî mendiskusikan secara panjang lebar makna kata “cahaya. Sedangkan pada bagian kedua, ia menjelaskan secara komprehensif satu persatu dari tujuh puluh hijab yang disinggung dalam hadits tersebut. Namun dalam artikel ini pembahasan hanya akan dibatasi pada bagian pertamanya saja, yang berkenaan dengan tafsir al-Ghazâlî atas Q.S. al-Nur [24]: 35.

Tafsir al-Ghazâlî atas Q.S. al-Nûr [24]: 35.

Bagian pertama dari Misykât al-Anwâr jelas merupakan upaya Imam al-Ghazâlî al-Ghazâlî untuk menafsirkan Q.S. al-Nûr [24]: 35 yang artinya: “Allah adalah cahaya langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti relung atau ceruk (misykât/niche) yang di dalamnya ada sebuah lampu (mishbâh), sedangkan lampu tersebut berada di dalam kaca (zujâjah). Adapun kaca tersebut adalah ibarat bintang-bintang gemerlap yang disulut dari sebuah pohon yang diberkati; sebuah pohon zaitun yang bukan Timur, bukan pula Barat, tetapi yang minyaknya akan menyala sekalipun tidak tersenuth oleh api. Cahaya di atas cahaya. Tuhan membimbing dengan cahayanya itu siapa-siapa yang dikehendakinya. Ia memberi berbagai perumpamaan kepada manusia. Ia Maha Tahu segala sesuatu.”

Di bawah ini akan didiskusikan tafsir al-Ghazâlî terhadap ayat di atas, khususnya yang berkenaan dengan beberapa istilah seperti nûr, misykât, mishbâh, zujâjah, syajarah mubârakah, al-zayt dan nûr ‘alâ nûr.” Cahaya didefinisikan oleh beliau sebagai sesuatu yang terang atau tampak (al-zhâhir) pada dirinya dan bisa membuat yang lain terang atau tampak (al-muzhhir).”[9] Cahaya menurutnya memiliki beberapa tingkatan, dan berbagai istilah yang terdapat dalam ayat di atas adalah juga merupakan tingkat-tingkat cahaya yang dimiliki manusia dengan mana manusia terbimbing kepada kebenaran atau Tuhan. Di sini, ia menyandarkan filsafat hirarki cahayanya pada ungkapan yang ada dalam ayat di atas, “nûr ‘alâ al-nûr.”[10]

Menafsirkan ungkapan “Allah adalah cahaya langit dan bumi,” al-Ghazâlî mengatakan bahwa Allah-lah satu-satunya yang bisa disebut cahaya, dalam arti yang sebenarnya, dan dalam hal ini Ia adalah unik dan tidak ada padanannya. Adapun cahaya-cahaya yang lain bisa disebut cahaya hanya secara alegoris (majâzî).[11] Hanya Allah yang betul-betul ada, sedangkan keberadaan yang selain Allah adalah pinjaman, dan karena itu bukan wujud pada dirinya, tetapi wujud karena yang lain.

Al-Ghazâlî menafsirkan istilah-istilah lain selain cahaya yang dijabarkan secara panjang lebar, seperti misykât, mishbâh, zujâjah dll, secara relatif singkat, tetapi sangat penting dan mengesankan. Bagi al-Ghazâlî, istilah-istilah di atas, yakni, misykât, mishbâh, zujâjah, syajarah mubârakah, al-zayt, merujuk kepada lima daya-daya ruhani manusia yang bercahaya (al-arwâh al-basyariyyah al-nuraniyyah),[12] yaitu jiwa indrawi (hissî), imajinasi (khayâlî), daya rasional (‘aqlî), daya reflektif (fikrî), dan (qudsî/nabawî). Dan seperti yang akan dijabarkan, penafsiran sufistik atas mereka dilakukan dengan menarik paralelisme di antara keduanya.

Marilah kita mulai dengan yang pertama, misykât. Al-Ghazâlî menafsirkan misykât sebagai daya-daya inderawi (al-rûh al-hisas), karena kalau kita perhatikan karakteristik daya jiwa ini, maka kita akan mendapatkan cahayanya keluar dari berbagai lobang, seperti dua mata, dua telinga, dua lubang hidung dan sebagainya. Karena itu menurut beliau, perumpamaan yang paling cocok dengan daya spiritual pada dunia lahiriah ini adalah ceruk atau misykât.[13] Daya ini adalah yang dapat menerima apa yang diberikan oleh panca-indera, dan ini dipandang sebagai akar dan penampakan pertama jiwa hewani, karena melalui inilah maka hewan menjadi hewan.

Beralih kepada mishbâh, al-Ghazâlî menyamakannya dengan daya rasional (al-rûh al-‘aqlî), di mana persepsi terhadap pengetahuan yang mulia dan ilahi terjadi. Perumpamaan daya akliah dengan lampu ini menjadi jelas, karena ia bisa menyebarkan cahayanya yang terang ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana matahari yang memancarkan cahaya terangnya ke seluruh dunia, sehingga disebutnya “lampu-lampu yang memberi cahaya” (al-sirâj al-munîr), yang pernah dijadikan sebagai julukan bagi para Nabi.

Adapun zujâjah (kaca) ia tafsirkan sebagai daya jiwa yang disebut imaginal (al-rûh al-khayâlî), yang dipandang memiliki 3 (tiga) karakteristik atau ciri yang menyerupai kaca. Pertama, seperti kaca daya imaginasi masih terkait dengan, atau berasal dari, materi dunia rendah yang padat, karena benda-benda yang dikhayalkan memiliki ukuran, bentuk dan arah, dan juga jarak. Kedua, ketika imaginasi yang masih pekat ini dimurnikan, dihaluskan dan digosok, ia menjadi setara dengan makna-makna dan titik-titik rasional yang mengarah pada cahaya mereka. Imajinasi yang telah mencapai tingkat ini tidak akan merintangi cahaya yang datang dari lampu (mishbâh), yakni daya-daya rasional. Karakteristik yang ketiga adalah pada mulanya imajinasi sangat dibutuhkan, karena melalui inilah seseorang dapat menyusun pengetahuan rasionalnya sehingga tidak terombang-ambing, tergoncang atau berserakan.[14] Ketiga ciri ini, menurut pandangan alGhazali, dapat ditemukan perumpamaannya di dunia lahir, hanya dalam kaca. Meski pada awalnya, kaca terbuat dari bahan yang pekat, tetapi sekali dimurnikan dan dibuat terang, maka ia tidak menghalangi cahaya sang lampu, bahkan ia mampu merambatkan cahaya tersebut dengan cara yang baik. Selain itu, ia juga memelihara cahaya dari terpaan angin kencang atau gerakan kasar yang bisa mematikannya.

Beralih kemudian pada “pohon yang diberkati” (syajarah mubârakah), al-Ghazâlî menyamakannya dengan jiwa reflektif (al-rûh al-fikrî). Seperti pohon, jiwa reflektif dimulai dengan sebatang akar dan kemudian muncullah darinya cabang-cabang, dan dari masing-masing cabang tumbuh dua cabang lainnya, dan dari tiap cabang tersebut tumbuh lagi dua cabang demikian seterusnya sehingga cabang-cabang ilmu rasional menjadi banyak.[15] Tetapi mengapa kemudian pohon yang diberkati tersebut disebut zaitun. Menurut al-Ghazâlî, pohon zaitun adalah istimewa, karena intisari dari buahnya adalah minyak zaitun, yang bisa dijadikan minyak bagi lampu. Sedangkan disebut diberkati (mubarakah) adalah karena dalam masyarakat Arab, ketika hewan piaraan atau pohon menghasilkan banyak turunan atau buah, maka mereka disebut “diberkati.” Karena itu akan lebih pantas untuk menyebut pohon yang buahnya tidak mengenal batas (daya reflektif manusia) dengan “pohon yang diberkati.” Sedangkan disebut “tidak Timur dan tidak juga Barat (lâ syarqiyyatan wa-lâ gharbiyyatan) adalah karena pemikiran-pemikiran murni rasional tidak bisa dikatakan memiliki arah, atau jarak dekat atau jauh,[16] dan karena itu tidak pantas untuk disebut Timur atau Barat.

Terakhir, minyak zaitun yang akan menyala sekalipun tidak disentuh api (yakâdu zaitu-hû yudhî’u wa-law lam tamsashu nâr), menurut al-Ghazâlî, merujuk pada daya-daya suci/kenabian, yang dinisbatkan kepada para wali ketika ia mencapai tingkatnya yang paling mulia dan murni. Daya reflektif terbagi kepada dua jenis; pertama, yang membutuhkan pengajaran, penyadaran dan bantuan dari luar, sehingga ia dapat terus mengambil bagian dari banyak jenis ilmu pengetahuan. Jenis kedua, karena memiliki kemurniannya yang begitu intens. Ia tersadarkan dengan sedirinya tanpa bantuan dari luar. Yang terakhir inilah yang pantas disebut “minyak yang akan menyala sekalipun tidak tersentuh api.”[17] Begitu intensnya kemurnian mereka, sehingga di antara para wali, menurut al-Ghazâlî, ada yang cahayanya bersinar demikian intensnya sehingga bisa terlepas dari bantuan Nabi, sebagaimana di antara para Nabi ada yang dapat terlepas dari bantuan malaikat. Tetapi kalau minyak tersebut disulut api, maka inilah yang disebut dalam ayat di atas “nûr ‘alâ nûr” (cahaya di atas cahaya).[18]

Dengan ini jelas bagi kita bahwa yang dimaksud dengan “cahaya” dalam ayat “Allah akan membimbing dengan cahayanya, siapa yang dikehendaki,” bukan hanya berupa agama, sebagaimana yang sering dipikirkan, tetapi juga juga melipuri semua daya-daya jiwa yang dimiliki manusia, seperti indera, akal, imajinasi, daya fikir, dan intuisi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Allah membimbing manusia melalui indera, akal, imajinasi, dan hati atau intuisi. Karena itu kalau kita ingin mendapat bimbingan dari Allah, kita harus menggunakan daya-daya tersebut sebaik-baiknya.


[3]Lihat al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 1.

[4]Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 1.

[5]Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 6.

[6]Lihat Montgomery Watt, “A Forgery in al-Ghazâlî’s Mishkat,” dalam Juornal of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Irland, 194, h. 5-22.

[7]Misalnya, konsep al-Ghazâlî tentang khayal, sebagai daya retentif, yang merekam gambar fisik sebuah benda, setelah benda itu tidak ada. Ini sangat mirip dengan apa yang dikatakan Ibn Sina di dalam Kitâb al-Najâh-nya. Lihat Ibn Sina, Kitâb al-Najâh, Beirut: Dâr al-Afâq al-Jadîdiyah, 1985, h. 201.

[8]Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 44.

[9]Al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, h. 4.

[10]Ada contoh yang menarik tentang hirarki cahaya ini yang diberikan al-Ghazâlî. Misalnya cahaya yang kita terima dari bulan, tetapi yang terpantul lewat tembok. Cahaya yang berasal dari tembok, tentu tidak akan begitu terang, dibandingkan dengan cahaya yang dipantulkan oleh kaca kepada tembok itu. Demikian juga cahaya cermin yang dipantulkan ke tembok, tidak akan seintensif cahaya bulan yang dipancarkan kepada cermin tersebut. Namun cahaya bulanpun, kata al-Ghazâlî, tidak akan seintensif cahaya matahari yang dipancarkan ke bulan. Lihat Misykât al-Anwâr, h.14.

Berlangganan update artikel terbaru via email:

1 Response to "Tafsir Sufistik; Studi Atas Kitab Misykât al-Anwâr Karya al-Ghazâlî"

  1. kita juga punya nih jurnal mengenai cahaya silahkan dikunjungi dan dibaca , berikut linknya
    http://repository.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/2762/1/Kommit2000_komunikasi_004.pdf

    ReplyDelete

SILAHKAN KOMENTAR

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel